Dunia Hasna serasa runtuh saat mengetahui bahwa dirinya adalah istri kedua dari suaminya, Ilham. Konflik meruncing karena cemburu menderu dan dendam masa lalu. Satu-satu ujian, godaan dan fitnah menggoreskan pilu. Akankah tiga cinta padu dalam syahd...
... Ilham terlihat sedang menggendong Airin menuju kamar tamu. Cemburu yang tadi bertalu-talu dalam dada Hasna kini serupa magma siap menyembur. Tangan Hasna mengepal hingga gemetar. Pintu kamar tamu pun ditutup. . 'Tega sekali kamu, Mas! Bercumbu dengan Airin di RUMAHKU!' . Hasna tak dapat lagi menahan gemuruh amarah yang tersulut cemburu. Benteng kesabaran yang selama ini susah payah ia bangun, runtuh diterjang cemburu. Dengan tergesa dan napas memburu, ia menuruni undakan tangga. Hampir-hampir terpeleset ia di tiga undakan tangga yang terakhir. Ia tak peduli. Secepat kilat ia menuju kamar tamu. Gaun tidurnya berkibar mengiringi langkahnya yang penuh nafsu. Sedetik kemudian gedoran kencang membahana dari pintu kamar tamu. Hasna memukulnya sekuat tenaga hingga lengannya terasa perih dan memerah. . "Hasna?" Ilham membuka pintu. Wajahnya terlihat kaget dan sedikit pucat. Wajah istri keduanya itu memancarkan amarah. Ia sudah lupa kapan terakhir kali melihat Hasna seperti itu. . "Tega sekali kamu, Mas! Bercumbu bersamanya di rumahku!" Suara Hasna meninggi. Bola matanya membeliak. Dari sudut-sudutnya buliran bening mulai jatuh satu-satu. Napasnya masih terengah-engah menahan gejolak panas dalam dada. . "Apa? Bercumbu? Sayang, aku nggak ngapa-ngapain sama Airin...," bantah Ilham. Pupil matanya membesar berusaha meyakinkan Hasna bahwa tuduhannya tak benar. Ilham terlihat masih mengenakan koko dan sarung yang tadi ia gunakan untuk salat malam. . "Aku melihat Mas menggendong Airin ke kamar!" seru Hasna setengah histeris. Diliriknya Airin yang sedang duduk di sisi tempat tidur. Wanita itu masih mengenakan gaun tidurnya. Gaun tidur seksinya! . "Astaghfirullah, Hasna. Tadi itu aku...," Kalimat Ilham terpotong. Hasna terlihat tak menghiraukan penjelasan suaminya. Dilewatinya bahu Ilham. Dengan segunung emosi ia menghampiri wanita yang sedari tadi mengamatinya di sisi ranjang. . "Keluar! Keluar kamu dari rumahku!" usir Hasna sambil menatap Airin dengan murka. Sebelah tangannya menunjuk keluar dan sebelah lagi berkacak di pinggang. Airin balik menatapnya dengan pandangan sinis dan benci. . "Hasna, dengerin aku dulu!" Ilham membalik tubuh Hasna dan memegang kedua bahunya. "Aku menggendong Airin karena dia terluka tadi di dapur. Kamu nggak lihat perban di kakinya?" . Meski enggan, Hasna melihat ke arah kaki Airin. Ia melihat sesuatu yang luput dari pandangannya sejak tadi. Telapak kaki kanan Airin terbalut perban dengan warna kemerahan di tengah. . "Sehabis salat, aku ke dapur untuk minum dan bertemu Airin tanpa sengaja. Airin tak sengaja memecahkan botol kaca hingga kakinya terluka... Aku hanya membantunya ke kamar karena ia mengeluh sakit saat berjalan," jelas Ilham. . Hasna terdiam. Serbuan api cemburu tak lagi sepanas beberapa detik yang lalu. Kini, sedikit rasa malu merayapi dadanya. Namun, sisa-sisa perih terbakar cemburu tak mau pergi. Hasna sudah memendamnya selama ini. Berusaha memadamkan api itu dengan tumpahan air mata dan lautan zikir. Namun, tak disangka ia terpantik oleh prasangka yang membuat murka di hadapan mata. . "Aku... Aku...," Kata maaf yang ingin diluncurkan Hasna tak sanggup mengudara. Sambil menyeka air mata, Hasna mengambil langkah keluar dari kamar dengan tergesa. . Meski emosi karena dituduh, dibentak, dan diusir, sebentuk rasa senang terbetik dalam dada Airin. Ia sukses membuat Hasna perih dilalap cemburu.
***
Hari-hari berlalu. Mendung tak kunjung pergi dari hati Hasna. Semenjak kejadian malam itu, ia mulai meragukan kekuatannya menjalani pilihan yang ia buat. Bertahan untuk tetap dalam bahtera rumah tangga, meski hati tercabik cemburu, sungguh bukan perkara mudah. Belum lagi sikap Airin yang penuh tipuan. Bersikap manis di hadapan Ilham namun di belakang begitu kejam menyakiti Hasna. Ingin rasanya, ia mengadu pada Ilham. Namun, rasa bersalah akan masa lalu Airin juga visi untuk berdamai, membuatnya sekuat tenaga mengurungkan niat. Entah sampai kapan ia akan bertahan. Haruskah ia akhiri saja drama menyakitkan ini dan melepas Ilham? Ah, rasanya tak sanggup. Ia terlalu mencintai suaminya itu. Ia pun tak yakin Ilham akan bersedia melepas dirinya. Apalagi mereka punya Adam. . Lamunan Hasna buyar saat mendengar teriakan Adam dari balik ruang terapi. Hari ini, seperti biasa, Adam melakukan terapi sensori integrasi di klinik tumbuh kembang rumah sakit Santosa. Semua berjalan seperti biasa sampai Adam terdengar meraung, diikuti suara benda-benda yang terlempar. . Adam mengamuk. Pukulan bertubi ia luncurkan ke kepalanya sendiri. Terapis yang berusaha menenangkannya pun sesekali terkena pukulan. Raungan Adam terdengar kencang. . Apa yang terjadi padanya? Hasna segera mendekati Adam. . "Adam ini Bunda. Tenang, Nak... Ad--" . Sebuah pukulan mengenai wajah Hasna. Nyeri bergelenyar di pipinya. Rasa amis khas darah terasa di mulutnya. Ini bukan kali pertama Adam tantrum hingga melukainya. Namun, entah kenapa, kali ini terasa jauh lebih sakit dari biasanya. . "Apa yang terjadi, Bun?" tanya Hasna pada terapis. . "Hari ini dia sulit sekali kerjasama, Bun. Tiba-tiba saja dia ngamuk." Terapis itu berusaha menahan kaki Adam yang meronta. . "Adam tenang, Nak. Bunda di sini... Bunda di sini..." . Adam masih meronta. Wajahnya memerah penuh peluh. Hati Hasna pedih melihatnya. Biasanya Adam mengamuk karena ada sesuatu yang mengganggunya. Kadar gula, gluten, dan casein yang berlebih karena makanan yang tak seharusnya dimakan Adam pun bisa jadi pemicu ketidakstabilan emosinya. Hasna berpikir keras apa yang menyebabkan Adam jadi mudah tantrum. Apa karena kesedihan yang ia alami, membuatnya lalai dalam merawat putra spesialnya itu? Rasa bersalah mulai membanjiri hati Hasna. . Setelah bergumul cukup lama, Adam mulai tampak kelelahan. Ia tak lagi meronta, hanya napasnya naik turun terengah-engah. Hasna dan sang terapis perlahan melonggarkan pegangannya. Tak lama setelah meneguk air putih, Adam terlihat mengantuk kelelahan. . "Biarkan dia istirahat dulu di sini. Setelah ini tak ada jadwal terapi lagi. Adam bisa pakai ruangan ini untuk tidur sejenak," usul sang terapis berkerudung merah muda itu. . "Terima kasih. Apa boleh... aku titip Adam sebentar. Aku ingin sekali menemaninya istirahat, tapi aku belum salat Asar," pinta Hasna sedikit tak enak. . Terapis itu mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
***
Tanpa terasa bulir hangat kembali menetesi pipi Hasna. Ia baru saja menyelesaikan salat Asar di musalla yang terletak di atap gedung rumah sakit. Mussala itu bernuansa kehijauan dan cukup luas. Posisinya yang berada di roof top membuat musalla ini selalu dilatarbelakangi langit yang bersemburat kebiruan hingga jingga saat sore tiba. Hasna hendak kembali ke ruangan terapi, namun langkahnya terhenti. Lukisan langit sore yang mulai bergradasi membuatnya terpaku. . Warnanya terlihat indah namun sendu. Sesendu perasaan hatinya yang tak menentu. Hasna kembali tenggelam dalam lamunan sedih akan beratnya ujian rumah tangga yang harus ia lalui. Sejenak ia terduduk dan tenggelam dalam tangis.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hasna?" dr. Fahri baru saja menyelesaikan salatnya saat melihat Hasna terduduk, menangis, sambil memeluk lutut di samping musala yang mulai sepi. . Entah kenapa ada pilu merambati relung hati Fahri melihat Hasna tergugu. Seperti deja vu. Isakan itu membawa Fahri ke masa lalu. Masa SMA yang mengharu biru. Isakan yang sama saat pertama kali pandangannya dan Hasna beradu. Mengingatkannya akan pilu, rindu, serta terpendamnya debar-debar candu.
(Bersambung)
Owww, ada apakah di masa lalu antara Hasna dan Fahri?