Perbedaan

5.4K 387 9
                                    

🌿

"Hasna, aku ...."
.
Kalimat Fahri terpotong oleh dering ponsel yang bernyanyi dari tas Hasna. Hasna buru-buru membuka tas kulitnya dan melihat siapa yang memanggil. Wajah Ilham terpampang di layar. Air muka Hasna berubah pucat. Sorot mata Ilham membuatnya seolah tertangkap basah.
.
"Astaghfirullah," desis Hasna. Ia buru-buru berdiri dan menjawab panggilan itu dengan panik. Sementara Fahri  terlihat jengah dan membuang muka. Pengakuan yang sudah di ujung lisan harus ia telan kembali. Jantungnya masih berdegub kencang, kini bukan karena gugup, tapi karena menahan sesal.
.
"Walaikumsalam, Mas." Hasna menggigit bibir, "I ... Iya aku sedang menuju ke sana. Oke, kita ketemu di sana ya. Walaikumsalam warahmatullah." Telepon ditutup. Hasna masih menggigit bibir lalu menghela napasnya yang berat. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tak ke sini bersama Fahri.
.
"Ri, maaf. Aku harus pergi. Ilham sedang menungguku di tempat terapi yg baru." Hasna memasukkan ponselnya ke dalam tas. Hasna melihat kekecewaan dalam raut wajah Fahri tapi ia benar-benar harus pergi.
.
"Terima kasih untuk semuanya ... tapi sampai kesalahpahaman ini selesai, aku tak bisa menemuimu lagi. Harusnya aku tak ke sini. Ilham melarangku untuk ... "
.
"... Aku tak mengerti, Hasna," potong Fahri. Kini ia bangkit berdiri dan bicara dengan nada gusar. "Dia mengkhianatimu. Kau masih saja mematuhinya? Jika ia bisa menemui wanita lain, kenapa kau tak boleh bertemu denganku? Aku dokternya Adam dan aku juga sahabatmu."
.
Dahi Fahri mengerut. Tatapannya dingin sekaligus penuh tanya. Ia sungguh tak habis pikir, bagaimana Hasna bisa tetap bersikap biasa saja pada Ilham. Bukankah pria itu telah mengkhianatinya? Hasna bahkan tetap patuh padanya. Apa hatinya tak meradang?

 Apa hatinya tak meradang?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
"Dia suamiku, Fahri. Kewajibanku adalah mematuhinya. Ya, kau benar. Ilham memang mendua ..." Suara Hasna bergetar lirih. Ia tak tahu apa ia sanggup menyelesaikan kalimat yang tertahan di ujung bibirnya. Matanya kembali menghangat.
" ... Akulah wanita kedua itu."
.
Sambil menyeka air yang mengaliri pipinya, Hasna beranjak pergi. Meninggalkan Fahri yang terpaku dibelenggu rasa tak percaya. Hatinya pedih.

***

Hasna menggenggam tangan mungil Adam dengan erat. Sambil berjalan, bocah yang mengenakan kaus hijau  itu, terlihat asyik memainkan pesawat mainannya. Ini adalah pertemuan ke delapan Adam dengan terapis barunya. Meski agak sulit di awal. Hari ini Adam menunjukkan sedikit kemajuan. Ia tak histeris dan berusaha kabur dari tempat terapi barunya. Perhatiannya teralihkan pada pesawat baling-baling yang tak berhenti ia mainkan.
.
Hasna memasuki ruang berdinding kaca tebal dengan logo khas klinik tumbuh kembang. Seorang pria berkemeja putih dengan lengan digulung ke sikut  melambai ke arah mereka. Ia terlihat baru saja berbincang dengan salah satu terapis.
.
"Jagoan Ayah udah datang." Ilham mengacak rambut Adam sambil tersenyum. "Kalian kemana dulu? Dari tadi Ayah nungguin." Ilham mencubit gemas pipi gembil Adam.
.
Mendengarnya Hasna salah tingkah. Ia tak mungkin menjawab bahwa ia baru saja bertemu Fahri. Sambil menggaruk sisi kepalanya yang tak gatal ia menjawab,
"Eh ... tadi main ke taman dulu sebentar. Kupikir supaya moodnya bagus kuajak main dulu."
.
Entah hanya perasaan Hasna atau Ilham memang menatapnya dengan tatapan menyelidik. Ia pun jadi gugup. Ia belum pernah menyembunyikan apapun dari Ilham sebelumya. Namun, ia tahu, jujur bukanlah sesuatu yang tepat untuk dilakukan saat ini.
.
Ilham mengangguk tanpa curiga. Sedetik kemudian Adam dibujuk oleh sang terapis untuk masuk ke ruang bermain. Biasanya Adam mulai berontak saat ini. Tak disangka, ia mau memasuki ruang bermain. Hasna dan Ilham bernapas lega. Namun tak berapa lama, Adam berlari keluar. Dengan sigap Ilham menangkap putranya. Kali ini ia yang membujuk Adam masuk.
.
"Seperti yang kita sepakati barusan, jika Adam menolak lagi, kita akan coba melakukan terapi dengan Ayah dan Bundanya ya. Sepertinya Adam akan lebih nyaman seperti itu. Nanti saya akan ajari bagaimana memberi instruksi, mem-prompt dan lain-lain." Sang terapis mengusulkan alternatif.
.
Ilham dan Hasna setuju. Mereka berdua pun masuk ke ruang bermain yang cukup luas. Tempat ini memang khusus digunakan untuk terapi Sensori Integrasi atau terapi okupasi bagi anak-anak yang butuh latihan untuk mengatur motorik dan sensorik tubuhnya.
.

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang