Butiran air mengaliri wajah Hasna. Pelan-pelan ia membasuh anggota wudhunya dengan air keran. Kesejukan perlahan menggantikan penat yang menyelimuti raganya seharian. Air wudhu tak pernah gagal untuk membuatnya segar dan bersemangat kembali. Seolah ada energi baru yang ikut meresap ke dalam diri lewat dinginnya air yang menyentuh kulit. Selesai berwudhu, Hasna segera menunaikan salat Asar di musola kecil yang berhadapan dengan taman indoor di rumahnya. Gemericik air dari pancuran bambu di kolam di taman itu terdengar sayup mengiringi doa dan zikir Hasna.Hari ini ia akan melakukan sesuatu yang membuatnya sedikit gugup seharian. Pembicaraannya dengan Ilham semalam berujung pada penguatan akan kesepakatan. Kesepakatan yang berat bagi Hasna, yaitu untuk menerima Airin dan berdamai dengannya. Penerimaan saja bukan suatu hal yang mudah bagi Hasna. Wanita mana yang sanggup dengan mudah berbagi kursi ratu dalam kerajaan rumah tangganya? Alih-alih damai, seringkali berujung seteru. Hasna sering menghabiskan malam-malam dalam tangis di atas sajadah, meminta Allah menguatkan dirinya untuk menerima. Berdamai dengan Airin pun adalah perkara mustahil, jika ia belum bisa membuat Airin memaafkannya. Meski berat, Hasna memutuskan untuk bersabar.
Hasna berusaha menghilangkan rasa gugupnya dengan berzikir dan berpikir optimis. Apa yang akan ia lakukan adalah sesuatu yang baik. Ia berharap Allah rida akan usahanya ini dan berkenan untuk memperbaiki hubungannya dengan Airin.
“Sup iga?” Airin melihat isi dalam kotak yang dibawa Hasna sore itu. Hasna mengangguk dan berusaha tersenyum.
Sore itu Hasna mampir ke rumah Airin dan membawakan makanan kesukaannya, sup iga sapi, steak tenderloin, dan kue bolen pisang. Wangi sup iga dan kuah steak menguar, menggelitik penciuman, membuat liur Airin seketika bertambah di dalam mulut. Ia berusaha menahan diri dan menelan liurnya sendiri.
“Cobalah. Aku tahu dari Mas Ilham, kamu paling suka menu ini di restoran Suiss kan? Bolennya juga kubeli di toko Ayu Sari, toko kue favoritmu,” tawar Hasna mencoba ramah.
Airin memalingkan wajahnya dari godaan kuliner yang dibawa Hasna. Senyum sinis menghiasi wajah polosnya sore itu.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Hah? Kamu mau mengerjaiku dengan makanan-makanan ini? Apa yang kau simpan di dalamnya? Ulat atau racun?” tanya Airin dengan muka sinis.
“Ya Allah, Airin. Kenapa kamu berpikir seperti itu? Ini asli dan aku tidak menambahkan apapun ke dalamnya,” jawab Hasna sedikit tersinggung, “Airin kumohon aku ingin memperbaiki hubungan denganmu… aku benar-benar menyesal telah berlaku jahat padamu dulu… aku benar-benar minta maaf…."
“Kamu ini tuli atau bodoh, sih? Aku sudah bilang padamu malam itu, bahwa aku tidak butuh permintaan maafmu!” potong Airin dengan nada sadis.
"Kau tahu? Tak lama setelah kepergianmu dari Trisula, aku tertimpa banyak musibah, aku kehilangan orang tuaku dalam kecelakaan, aku jatuh miskin, dan dikucilkan di sekolah. Kurasa Allah ingin menghukumku karena telah jahat padamu. Aku sadar aku salah. Aku sungguh menyesal, Airin, ” sambung Hasna sedikit memelas.
Airin terdiam sesaat. Ia agak terkejut mendengarnya. Ia tak pernah menyangka bahwa ternyata Hasna juga ditimpa penderitaan setelah mendepak dirinya dengan fitnah. Dalam hati kecilnya ia merasa kasihan tapi ia juga merasa puas. Memang sudah selayaknya Hasna dihukum atas perbuatannya. Namun, itu tak memadamkan dendam dalam hatinya.
“Kau memang pantas mendapatkannya! Tapi itu belum cukup. Aku akan membalas semua penderitaan yang pernah kau timpakan padaku! Ini! Bawa kembali makanan racunmu! Aku tak butuh!”
Airin melempar semua bawaan Hasna ke udara. Kotak makan dan seluruh isinya pun tumpah mengenai pakaian Hasna dan berserakan di lantai. Hasna memekik karena kuah supnya masih panas.
“Airin?!” Hasna sungguh tak menyangka Airin akan melakukan hal itu. Beruntung ia mengenakan pakaian tertutup sehingga kulitnya terlindungi. Meski begitu ia bisa merasakan perih di bagian yang tertembus kuah sup yang masih mengepul itu.
“Kenapa? Mau marah? Bukankah dulu kau juga sering menumpahkan makanan dan kuah panas padaku di kantin?” sergah Airin penuh kebencian. Mata hitamnya berkilat dan menyayat, "Aku akan membuatmu menderita sampai kau melepas Ilham untukku!"
Bayangan masa lalu dirinya saat dikerjai, disakiti, dan difitnah kembali berkelebat di mata Airin. Takkan pernah ia lupakan sakit, malu, dan pedih yang ia rasakan saat itu. Hatinya tertawa melihat ekspresi Hasna sekarang.
Hasna hanya terdiam di sana dengan sedih, mengingat memori yang telah lama ia kubur. Lagi, ia merasa membenci dirinya yang dulu. Andai ia bisa pergi ke masa lalu, ingin rasanya menampar dirinya yang dulu dan menyuruhnya berhenti menyakiti orang lain. Perlahan bulir air mata penyesalan berlomba memenuhi sudut matanya.
“Menangislah! Menangislah seperti ku menangis dulu… kau.. Akh!” Airin tiba-tiba saja terjerembab ke belakang. Tubuhnya didorong oleh seorang anak kecil yang berlari dengan kencang. Adam mendorongnya. Bocah itu pun mulai memukulinya.
“Adam!” Hasna berusaha menghentikan Adam. Digendongnya Adam yang terlihat tantrum. Adam seolah tak terima ibunya diperlakukan jahat oleh Airin.
“Dia anakmu? Dasar anak gila! Bawa dia dari sini! Pergi kalian! Jangan pernah lagi menapakkan kaki di rumah ini, mengerti?!”
Hasna berusaha menenangkan Adam dengan memeluknya erat. Kini mereka telah berada di mobil. Adam masih saja meronta marah. Ia memang tak suka dipeluk.
“Tenang, Sayang… tenang… Bunda nggak apa-apa kok. Cuma basah.” Dengan air mata yang masih mengalir, Hasna berusaha membisiki telinga Adam dengan kalimat sayang dan doa yang selalu ia gunakan untuk menenangkan puteranya itu.
Setelah beberapa lama Adam pun tertidur. Hasna memindahkannya dan memasang sabuk pengaman padanya. Hasna pun kembali menangis dengan menyandarkan lipatan tangannya di kemudi.
“Ya Rabb, beratnya ujianmu ini. Apa aku sanggup?”
Tak lama ponselnya bergetar. Nama suaminya terpampang di layar sedang memanggil. Setelah mengusap air mata, Hasna mengangkatnya.
“Bagaimana? Apa Airin menerimamu dengan baik?” tanya Ilham penuh harap. Hasna tak menjawab. Ia membekap mulutnya sendiri menahan tangis. Ingin sekali ia mengadukan perlakuan jahat Airin. Tapi apa yang akan dilakukan Ilham jika mengetahui Airin jahat padanya? Bukankah ia sangat menginginkan perdamaian bukan perseteruan?
Jika Hasna mengadu, Ilham mungkin akan sedih. Ilham juga pasti akan memarahi Airin. Meski sakit hati diperlakukan buruk oleh Airin, Hasna tak ingin menambah derita Airin.
'Tidak cukupkah penderitaan Airin selama ini karena ulahku?' batin Hasna.
[Hasna?]
Ilham kembali bertanya karena sejak tadi Hasna diam seribu bahasa. Hasna pun menjawab dengan lirih,
[Iya Mas. Dia menerimanya dengan baik.]
***
(Bersambung)
Terima kasih sudah membaca JDA. Kisah ini akan update tiap Selasa dan Sabtu. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN DUAKAN AKU
RomanceDunia Hasna serasa runtuh saat mengetahui bahwa dirinya adalah istri kedua dari suaminya, Ilham. Konflik meruncing karena cemburu menderu dan dendam masa lalu. Satu-satu ujian, godaan dan fitnah menggoreskan pilu. Akankah tiga cinta padu dalam syahd...