Good Things Are Coming

9.1K 1.5K 25
                                    

Kembali ke kantor setelah beberapa hari penuh kejutan, rasanya ngangenin. I'm craving for something normal.

Tapi semua harapan sirna saat aku berjalan ke lift dari lobby dan hampir semua orang menyapa super excited. Ujung-ujungnya adalah panggilan dari PemRed begitu aku duduk di mejaku.

"Tentang apaan nih, Mbak?" Aku bertanya pada sekretaris PemRed yang datang nyuruh aku 'menghadap'.
"Ituuu yang kemaren, ya ampuun. Aku aja deg-deg'an banget berasa nonton film action...", jawab Mbak Rida.
Aku hanya bisa tersenyum salting. Gak biasa dan gak nyaman sama perhatian orang banyak, beberapa kali aku menanggapi sapaan teman-teman kantor cuma dengan super awkward grin.

Jam 10, aku melangkah masuk ke ruangan PemRed-ku yang super ikonik: Redha Sandrina. Reporter senior yang berprestasi, dia memimpin TV tempatku bekerja dengan tangan dingin, quirky personality dan rambut hijau menyala.

Aku masih selalu kagum campur deg-deg'an tiap bertatap muka langsung dengan Mbak Redha. She's a legend. Dan meskipun umurnya sudah mendekati 50an, dia terlihat muda, energetik dan sangat pintar.

"I like you, Madda. A lot," ia berkata saat aku masuk ruangan. Dicampur grogi, kepanikanku menghasilkan ekspresi yang kutau pasti aneh banget.

"I have big plan for you. Sebelumnya kita mau kirim Ladya, tapi gue ngeliat lo kemaren dan gue pikir lo mesti ambil kesempatan ini..." ia menyuruhku duduk dengan tangannya, lalu membuka sebuah map besar di meja.

"Laporan eksklusif di daerah konflik Timur Tengah, tandem dengan Al-Jazeera." Ia memberikan sebuah kertas.

Aku membacanya. Undangan peliputan. 5 bulan. Kesempatan bagus banget untuk menajdi wartawan yang sebenarnya. Aku gemetar, di tangan dan dalam hati.

"I think you have the guts. Kalau lo mau, gue bisa drop Ladya."
Ladya adalah reporter yang sudah jadi presenter selama dua tahun terakhir. Princess Ladya julukannya, saking anaknya baek, cakep, pinter dan lucky banget macam Disney Princess. Meski konon orangnya agak sedikit kaku dan gak banyak bergaul sama anak kantor lain, tapi semua orang respek banget sama dia.

"Gue akan kasih lo waktu untuk mikir sampai...bulan depan," tambahnya, melihatku shock.

"Makasih Mbak,"

"Meanwhile, lo balik bulletin. Nina bilang kerjaan lo sebetulnya sudah beres untuk planning, jadi lo bisa liputan lapangan lagi, besok."

YESSSSSS! Penutup yang sempurna: balik liputan dan...gak perlu backstreet sama Sam karena kami gak bakalan kerja bareng lagi!

Aku keluar dari ruangan Mbak Redha dengan perasaan campur aduk, kemudian setengah lari ke booth editor.

Meja Tisa sedang dikerumuni beberapa rekan kerjanya, sibuk diskusi. Tapi Tisa sendiri sih duduk santai di belakang keramaian, dan segera bangkit saat melihatku datang.

"Lama amat cuy kagak balik-balik kostan!" Ia menarikku ke salah satu booth kosong.

"Gue banyak cerita buat lo tapi satu-satu. Yang paling excited adalah: gue balik liputan lagi!" Aku melompat-lompat girang, sebelum melanjutkan dengan cerita lengkap tentang tawaran liputan di Timur Tengah, dan perjalanan singkatku ke Bali.

"Gila. Lo kayak baru taksir-taksiran kemaren dan udah ketemu orangtua masing-masing," ia menggelengkan kepalanya.

"Do you think I should take it slow?"

Tisa berpikir-pikir, "Gak juga sih. Tapi lo pasti lah ada firasat-firasat gak enak kalau emang terlalu cepet...berasa gak?"

Ya sih. Ya banget. Memang cepet banget. Gak sampai sebulan dari hari di mana aku patah hati sampai ketemu orangtua pacar baru.
Kalau aku dengerin pikiranku sih, memang semua hal kerasa berlangsung cepat sekali.

Tapi entah kenapa, hatiku selalu bilang kalau...gak ada yang salah dengan seberapa cepat atau lama kita memutuskan untuk jatuh hati sama orang lain. Plus...it's time for me to move on.
And to love; fully, completely, naturally. Gak perlu lagi nebak-nebak atau merasa bersalah sama perasaan sendiri.

"I feel like...I deserve this...", jawabku mantap.

***

Hari ini ada rapat karena besok adalah hari pertama kami syuting untuk program baru. Aku bareng Mbak Nina, bersiap ketemu tim produksi. Dia terlihat kecewa karena kami gak jadi kerja bareng, tapi ikut excited saat kuceritakan tentang tawaran liputan Mbak Redha. Baik ya.

Di ruang rapat sudah berkumpul tim produksi. Beberapa campers alias camera person, tim sound, wardrobe, marketing...banyak deh. Ada yang duduk, main ponsel, buka laptop, berdiri di sana-sini, bikin kopi... Dan terselip di antara orang-orang rame dan ribut, sebuah wajah yang masih membuatku berdebar.

Sam. Ia duduk, membaca naskah dengan serius, sebelah tangannya menopang dagu dan bibirnya terkatup rapat.

Dia belum menyadari kalau aku dan Mbak Nina masuk. UPM kami belum muncul, jadi rapat juga belum bisa mulai. Mbak Nina ngobrol santai dengan koordinator studio, jadi aku memutuskan untuk nyelip-nyelip dan duduk di samping Sam.

Ia melirikku sekilas dan memberiku senyum yang ditahan.

"Hai, Sam."
"Oh halo, Maddy. Good script." Ia berkomentar singkat, dan kembali membaca.

Tapi kurasakan tangannya di bawah meja, mencari jari-jariku. Menggenggamnya sesaat, erat-erat.

Rapat dimulai dan dengan berat hati aku duduk di samping Mbak Nina. Hampir sejam untuk koordinasi banyak hal, dan sebelum rapat ditutup, Mbak Nina memberikan pengumuman kalau aku akan digantikan oleh Debby, salah satu produser di tim magazine.

Sam terlihat paling kaget. Rekan-rekan kantorku kebanyakan sudah berekspektasi aku akan balik bulletin. Sisanya terlihat gak terlalu peduli.

Setelah dibubarkan, Sam menghampiriku yang masih ngobrol dengan Putra dan Fikas, kameramen untuk syuting besok.

"Jadi kita gak kerja bareng besok?" Ia bertanya, setengah berbisik.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Oke. Aku gak ngerti kenapa kamu kelihatan happy banget," Sam mengerutkan kening, "For all I know, kamu balik liputan lapangan artinya kita akan jarang bareng-bareng."

"Ya. Tapi, itu juga berarti, kita gak kerja bareng lagi...", jawabku.

Ia berpikir sesaat sebelum mengangkat alis. Dan tersenyum lebar.

"Pamitan ya. Nice to work with you, Sam." Aku menjabat tangannya dengan formal, lalu berjalan keluar ruangan bareng Mbak Nina.

"See you soon, baby," ia menjawab dengan suara normal, menarik perhatian beberapa orang sekitar kami.

Mbak Nina melirikku saat kami menunggu lift, "'Baby' already, huh?"

"Already my baby," jawabku gak pake malu.

Seniorku ini tertawa kecil, "Good for you."

True. He is good for me.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang