Ken : The Bride

15.6K 1.6K 74
                                    

Gue mengetuk pintu kamar Madda. Lagi. Lagi. Lagi.

"Aku tau banget itu pasti kamu," ia membuka pintu akhirnya, berdiri di depan gue dalam kimono handuk hotel dan rambut setengah berdiri. Gue masuk kamarnya sambil ngikik-ngikik.

"Lho Mbak, ini calonnya gak boleh masuk...", protes buibu berkonde tinggi dengan sebelah sisir di tangan. Busyet. Wajahnya full color abis.

"Bu, saya mah bukan calonnya dia...", jawab gue buru-buru. Gue memang sudah rapi pakai jas, dan mungkin ketampanan gue setara manten pria kali.

"Pager ayu dia," Madda menambahkan. Sial.

Walau melirik dengan wajah curiga, si ibu berkonde kembali menyiksa rambut Madda, digaruk-garuk gitu lah pake sisir kecil.
Gue memandangi sahabat gue yang mengernyit kesakitan. Dia belum pakai make-up, rambut masih gak jelas, tapi udah cakep.

Well, harus gue koreksi bagian itu.
Madda mah emang selalu cakep. Gue amat berharap si ibu-ibu wajah full color ini gak mengimplementasikan teknik make-up di mukanya dia, ke mukanya Madda.

"Kamu ngapain ke sini? Udah makan belum?" Madda bertanya.

"Aku mau nemenin aja, siapa tau kamu bosen. Dan aku sudah makan barusan...", jawab gue.

"Gimana Sam?" Ia bertanya lagi. Tepat seperti dugaan gue. FYI, ini gue tuh bolak balik lho. Dari Madda ke Sam ke Madda lagi.

"Dia tadi lagi kabur-kaburan gamau pake shading," gue bergidik mengingat mas banci make-up yang bikin Sam mengunci diri di kamar mandi, gak mau keluar. "Aku menyelamatkan dia. Sekarang udah rapi, bentar lagi jalan ke tempat akad."

"Hah? Emang sekarang jam berapa?" Madda panik.

"Masih lamaaaaaa. Tenang. Dia kayaknya mau foto dulu ama keluarganya."
Gue buru-buru menenangkan.

"Aku kan belum make-up, belum pake baju, baru selesai rambut...", Madda melanjutkan.

"Waaaa kamu belum pake bajuuuu..."
Godaan gue terhenti sisir yang mendarat pedas di kepala. Tapi berhasil. Madda senyum lagi.

Today is my bestfriend's wedding.
Wait. It should be: my bestfriends' wedding.
Hubungan gue dan Sam yang diwarnai cemburu-cemburuan kini diakhiri dengan kesadaran dan jenis persahabatan yang baru.

Gue gak pernah punya sahabat dekat kecuali Madda. Temen nongkrong banyak. Temen main game banyak. Temen kantor banyak. Temen forum deef banyak. Tapi sahabat yang ketika lo liat dia, dia gak perlu ngomong, lo udah tau apa pikirannya...cuma satu ini. Perempuan yang lagi menolak mati-matian supaya alisnya gak 'dirapiin' di depan gue.

Arti Madda buat gue banyak.
Gue menjalani semua perasaan sebagai manusia, pertama kali ya sama Madda. More than just friends. Karena kami sama-sama anak tunggal, tetanggaan pula, mungkin lebih kayak sodara kali ya.
Meskipun ada beberapa kali gue dan dia sama-sama pernah mikir, bisa lebih dari itu, tapi ternyata...enggak. Kalau bisa kan, bukan Sam yang kabur dari banci, tapi gue.

Dan Sam, well, juga menempati posisi spesial baru sebagai teman dekat gue beberapa bulan terakhir. He's very cool. And a bit older. Jadi gue bisa bebas banget berkelakuan egois trus dia cuma senyum santai sambil ketawa. Di Friends, dia itu Richard-nya Monica, kali ya. Jadilah gue pun senang banget hang out ama dia, kadang ngintilin dia ngedate sama Madda juga. Ha!

Abisan gimana dong. Gue juga kan jomblo gegara dua orang itu. Gue nyaris balikan sama Tyas, tau-tau diintervensi dan diceritain kalau si seksi itu ada sampingan jadi sugar baby.

No offense yak. Gue punya cita-cita jadi sugar daddy. Tapi gue ogah juga kalau calon bini gue pernah jadi sugar baby.
Kan gue udah bilang kan, gue egois.

Anyway.
Saat ini gue masih duduk setengah tidur sambil liatin Madda dandan. Selain keinginan absurd si buibu make-up buat cukur alisnya, rupanya dia mayan oke juga. Madda tampak makin cakep. Gak lebay, tapi gak terlalu woles buat jadi manten. Ya gitulah pokoknya. Pas. Kelopak matanya kelihatan dikasih warna-warna gitu. Lipstiknya juga ada warnanya. Rambutnya dicepol sederhana, pake bunga-bunga.

"Aku mau pake baju, kamu masuk kamar mandi dulu, Ken." Madda mengumumkan.

Gue masuk kamar mandi dengan sukarela. Mau godain sih tapi ga tega.

Gue memandang wajah gue di cermin. I also looked nice. Di acara kawinan super-private yang cuma ngundang keluarga doang ini, gue disuruh pake jas rapi berwarna abu-abu gelap, sewarna sama semua anggota keluarga lain: Papi, Ayah, Papanya Sam. I'm officially a family, I guess.

"Ken keluar dong, liatin aku udah oke beluum?", seru Madda.
Gue buru-buru keluar.

Dan tercekat melihat Madda.
Gue belum pernah melihat dia secantik ini. Oke gue ralat. Gue belum pernah melihat siapapun secantik ini.

Madda dengan gaunnya yang berenda, simpel, berpotongan lurus, berwarna putih dan abu-abu, ditambah make-up pas barusan dan rambut cepolnya...terlihat seperti...

Gue gak tau seperti apa.
Cantik banget lah.

"Ken? Ken? Woi. Gimana?"
Madda menyadarkan gue.

"Cakep. Mayan." adalah kata-kata yang keluar dari mulut gue. Satu, karena gue gengsi bilang dia cantik. Dua, karena gue tau dia secantik ini bukan untuk gue. Tiga, karena gue pengen isengin buibu make-up.

Madda melirik mata gue and that's all she needs to know what my real answer is. Dia tersenyum. Tambah cakep.
"Thankyou, Ken," suaranya melembut. Ia memberi gue sebuah kotak berwarna biru tua. "Help me with this, please?"

Gue membuka tutup kotak dan mendapati kalung yang gue beli untuk dia di Rusia. Kalau aja dia tau, harga kalung ini lebih mahal dari cincinnya si Tyas waktu itu.

Gue memasang kalung itu di leher Madda. Mengaitkannya rapi. Dan setiap sen terasa worth it. Dia emang cantik banget.

"Yakin gak mau pakai yang saya bawa aja, Mbak?" Buibu Make-Up berkomentar sambil mengangkat sebuah kalung gonjreng.

Madda menggeleng. Gue melotot bengis pada si ibu. Dia kagak tau aja gue ngosongin rekening demi kalung ini.

"Ya juga sih, Mbak. Simpel gitu ya. Nah, sudah selesai. Cantik." Ia memandangi Madda dan gue menyepakatinya dalam hati.

Madda menghadap gue, menatap mata gue dalam-dalam. Kedua tangannya meraih tangan gue. Dan. Gue. Merasakan mata gue memanas. Yaelah. Jangan nangis Ken. Jangan nangis Ken. Jangan nang...ah elah, nangis juga gue. Buru-buru gue hapus. Ngeliat Madda gini, dalam gaun pernikahannya, mendadak gue dipenuhi emosi yang meluap.

"Ken, makasih ya. Untuk semuanya selama ini...", mata Madda terlihat berkaca-kaca juga. Dengan gesit gue mengeluarkan sapu tangan dari saku gue. Ha. Gue bestman dan bridesdude terorganisir.

Ia tertawa menerima saputangan gue dan menghapus air mata yang nyaris mengalir ke pipi.

"You will always be my always, Ken." Madda berbisik sambil memeluk gue. Seperti biasa, Madda wangi. Gak tau wangi apa, tapi gue suka.
Gue membalas pelukannya erat, "You too, Mad..."

Kami melepas pelukan, dengan background Ibu Make-Up ngeliatin kami dengan bingung.

Gue melirik jam tangan gue.
It's time.
"Let's get you married!" ajak gue. Madda tertawa, menggandeng tangan gue.

Deep down, sedikit perasaan gue selalu menginginkan dia sebagai pengantin gue. But then again, when it wasn't meant to be, I think I'm in the right place. We'll be together, bounded by love that will never end.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang