Date with Destiny

11K 1.7K 55
                                        

Pekerjaan baruku sebagai produser acara masak-masak sukses banget membuatku sibukkkkk!
Karena aku dibesarkan di newsroom sebagai reporter lalu asisten produser untuk program bulletin yang sifatnya harian, aku sangat fokus pada berita terkini, riset, fakta terbaru, pemilihan narsum sesuai angle... Jarang banget mikirin dengan teknis. Jadilah, aku berasa jadi newbie lagi di program magazine yang tayang mingguan.

Tanpa dibantu asisten produser, aku meriset, buat segmentasi, menulis naskah, memilih lokasi, 'order' SDM dan alat, cari narsum sampai menyusun jadwal liputan dan syuting dan editing. Itu baru tahap pra-produksi.

Lalu nanti Sam syuting. Hopefully bagian ini sih easy-peasy.

Tapi setelahnya ada transkrip, transfer data, rough cut, dubbing, dan editing. Standar di tempatku bekerja, satu episode berdurasi satu jam akan menghabiskan waktu paling tidak dua minggu dari riset awal sampai siap tayang. Diharapkan, saat episode pertama tayang, kami sudah ada minimal episode episode ready. Targetku sih enam.

Saat ini aku masih siapkan bagian pra-produksi. Tapiii...super excited! Aku menghabiskan waktu di kantor dari pagi sampai tengah malam sejak Senin sampai Kamis. Jadwal syuting dengan Sam digeser di Senin hingga Rabu depan, langsung tiga episode berturut-turut, sembari ada liputan juga.

Selain koordinasi via email, Sam juga menelpon dan chat aku hampir tiap hari. Sekali-kali dia kirim makanan ke kantor. So cute. Tapi aku belum bisa ketemuan lagi sama dia. Too risky. Dan aku lagi gak bisa (gak pengen) meninggalkan kerjaanku yang seru ini.

Aku sedang memeriksa naskah dan jadwalku untuk terakhir kalinya di hari Jumat siang, saat mendadak salah satu OB memunculkan kepalanya di atas kubikelku.
"Mbak Madda, disuruh ke ruangannya Bu Nina!"
Aku memastikan semua beres untuk Senin besok dan membawa catatanku ke ruangan Mbak Nina.

Di dalam, Sam sedang duduk bareng Lala dan Mbak Nina.
"Hai, Madda. Good job, scheduling and all. Impressive!" Mbak Nina terdengar happy, "Yuk sini, gue lagi dengerin usulan Lala untuk wardrobe nya Sam..."

Aku menyapa semua orang dan menarik kursi, duduk di samping Sam dengan sok cool. Melihatnya langsung, tentu membuat kupu-kupu beterbangan di dadaku. Padahal aku sudah santai banget balas chat atau ngobrol dengannya di telepon layaknya orang kasmaran.

Topik hari ini adalah...Lala dan tim visual mau Sam potong rambut.
Aku memandang rambut ikal Sam yang menggemaskan dan langsung gak setuju dengan usulan ini. Alasanku adalah image super laid-back nya yang sudah jadi trademark selama ini.

"Tapi tampilannya Sam messy banget, Da. Gue akan make sure potongannya gak bakalan culun kok. Sedikit aja, supaya keliatan rapi tapi tetap agak gondrong kok..." Lala memberi argumen masuk akal.

Tapi aku suka rambutnya Sam!, aku memekik dalam hati.

"Kamu gimana, Sam?" Mbak Nina bertanya.
"No problemo. Tinggal kasih modelnya, aku bisa ke tukang pangkas, beres..." Sam menjawab ringan. Bukan hal luar biasa memang untuk para presenter dan host program mengubah penampilan. Yang cewek malah lebih ekstrim lagi; bisa ganti model rambut atau warna.

Lala mengeluarkan beberapa foto referensi. Aku melirik Sam sembunyi-sembunyi. Dia kelihatan cakep hari ini, dengan rambutnya diikat ke belakang.

"Kalian deh yang pilih. Cuma kalau kependekan, biasanya sih lebih berantakan lagi karena rambutku ikal. Sepanjang masih bisa ikat rambut, karena aku harus pakai topi dan penutup kepala kalau kerja di hari biasa, aku oke..." akhirnya ia menjawab.

Lala tersenyum dan memberiku tiga foto yang tadi disepakati olehnya dan Mbak Nina di meja. "Besok sudah harus potong yak, jadi lo pilihnya sore ini..."
Aku memandangi foto-foto referensi. Di luar dugaanku sebelumnya, model rambut usulan Lala memang oke banget untuk Sam. Aku memilih satu yang paling kusuka dan memberinya pada Sam di sampingku. Ia mengangguk.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang