More Moves, Less Announcement

9K 1.5K 23
                                    

Setiap kali ponselku berdering dengan theme song-nya Lord of The Rings (yang artinya Ken menelpon), aku nyaris kena serangan jantung. Seperti hari ini. Lagi-lagi dia batalkan janji untuk nongkrong di apartemennya gara-gara ada janji dengan wedding organizer. Aku selalu takut dia telpon untuk memberi kabar buruk.

"Tyas apa kabarnya?", aku bertanya basa-basi. Setiap saat aku wondering apakah gadis itu sudah cerita tentang side-job nya bersama Rizal Santana.

"Baik. Dia lagi diet. Marah-marah melulu. Aku ajakin nonton bareng atau makan malam sama-sama kamu dan Sam, dia pasti gak bisa. Very busy. So sorry," jawab Ken.

Aku pengen kasihtau Ken, tapi aku juga gak mau jadi pembawa kabar buruk. Dan tentu saja, aku butuh lebih banyak bukti.

Sementara itu, untuk riset dan cari bukti, sejujurnya aku malas. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menikmati hari-hari bersama cowok yang kusuka dan suka aku balik.

Jadi aku memutuskan untuk gak perlu lah cerita apapun. They're both adults. Siapa tahu Tyas sudah gak ada hubungan apa-apa lagi sama RZ. The past is in the past.
Meanwhile, I have my own future to think about.

Yang bikin excited adalah tawaran liputan Timur Tengah. Perang dingin, krisis kemanusiaan rawan konflik dengan kondisi alam ekstrim adalah tempat sempurna buat menempa diri jadi reporter. Tapi liputan ini bisa berlangsung lama, meski rencananya cuma enam minggu. Seniorku ada yang terjebak tiga bulan dalam situasi perang sipil. Pulang langsung pensiun. Duh

Aku berniat untuk memberi tahu niatku pada Sam. Hari ini. I hope it goes well. Tadinya kami berniat nonton bioskop sepulang aku ngantor, tapi barusan banget Sam mengusulkan kita makan di apartmentnya aja.

Aku ke sana hanya untuk kunjungan singkat sebelum pergi ke Bali waktu itu. Dan sejujurnya aku menghindari mampir kesana (yang sebetulnya sangat dekat dengan kost dan kantor). Kenapa? Karena berdua-duaan dengan Sam terasa sangat berbahaya. He's just too sexy, I feel like I can't help myself.

***

Kalau aku bilang apartment, jangan bayangkan salah satu gedung pencakar langit dengan ratusan tempat tinggal di dalamnya. Sam tinggal di sebuah bangunan lima lantai yang dihuni tiga orang lain. Lantai pertama adalah semacam lobi/ruang tamu.
Selama ini aku cuma duduk-duduk di situ.

Dan hari ini Sam menungguku di sana. Dia kelihatan gak enak badan; kulitnya pucat, berkeringat, dan untuk pertama kali, tangannya terasa dingin.

"Kamu sakit?" Aku menyentuh wajahnya, khawatir. Dia selama ini bangun pagi buta dan pulang tengah malam tapi selalu sehat. Masih sempat lari 2x seminggu. Sementara aku? Let's say, work is my exercise... #excuses

"Aku cuma lagi gak mood aja kok," jawabnya sementara kami berjalan menuju lift. Dan. Dia. Diam. Sampai ke lantai empat! Mau gak mau aku jadi deg-deg'an sendiri.
Ia menggandeng tanganku keluar lift.

"Ini apartment keluarga, buat kalau Mama Papa lagi di Jakarta," Sam akhirnya buka suara saat berkutat dengan kunci pintu. "I live here five days a week. Sementara rumahku yang kemaren itu adalah warisan dari Eyang, apartment ini punyanya Mama."

Ia membuka pintu lebar-lebar ke ruangan yang gelap dan menyilakanku masuk...

"Surpriseeeee!"

Lampu mendadak dinyalakan. Saking kagetnya aku lompat ke belakang, nabrak Sam yang untungnya sudah siap siaga dan menahanku di pelukannya. "Happy birthday, baby!" Ia berkata di telingaku dan mencium pipiku sambil tertawa.

Oh my God!!

Memandang sekeliling, ada Mami, Papi, Ayah, Ibu, KEN, Tisa, Glo, temanku kuliah, SMA, bahkan ada Mbak Nina plus geng kantorku, daaaann...tiba-tiba muncul adalah Mama Brie bawa kue.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang