Worst Sunday Ever

9.2K 1.5K 106
                                    

Ada yang tahu tentang Murphy's Law? Simpelnya adalah, gimana saat semua hal buruk yang bisa kebayang...betulan kejadian.

And man, how they really happen to me.

Aku masih gak ngerti, semuanya terjadi begitu cepat: I lost my man, my elite-job-assignment, and my best pal. All at once.

Jadi jangan salahin aku yang di jam 9 pagi, hari kerja, duduk di kasur di kostan, makan Indomie sambil nonton Running Man yang selalu bisa bikin teman-teman kostku ngakak-ngakak. Tontonan yang gak sukses untuk kusimak karena sejujurnya, tanpa berniat rasis, buatku semua orangnya keliatan serupa, dan...APA SIH LUCUNYA?

Menyerah dan mematikan laptop, aku berpikir tentang kejadian beberapa hari terakhir.

Semua dimulai di Jumat malam, gara-gara mulut ember Ken, Sam memberiku ultimatum paling ultimate.
Sabtu malam Ken dan Tyas putus.
Minggu...
Astaga. The most fucked-up day of my life.

***

Sabtu tengah malam itu akhirnya aku mengantar Ken balik ke apartemennya. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun terakhir, aku nyetirin Ken. Terakhir kali adalah saat aku belajar nyetir mobil sama dia dan mau ambil SIM. Lalu karena ini Jakarta, aku mending pake bus atau ojek deh. Gak guna itu SIM kecuali kalau mesti liputan luar kota, aku suka gantian sama sopir saat beres liputan supaya gak lupa cara berkendara. Juga kalau dapat driver yang nyetirnya bikin mabok darat.

And just like driving, you'll never forget how you become someone's bestfriend, no matter how angry you were to them, no matter how long you two have separated. When they need you, you just gotta be there.

"Kenapa Tyas?" Aku bertanya saat kami sudah duduk di satu-satunya sofa di apartemen Ken. Sama-sama sudah mandi, kering, ganti baju tidur, dan memegang mug besar masing-masing berisi teh panas.

Ken menatapku nanar, "Dia kemaren itu, nyuruh aku milih: kamu atau dia."
Saat ini, dengan rambutnya yang basah berantakan, dalam kaos dekil bergambar Mario Bros favoritnya, Ken keliatan miserable. Tapi aku yakin, aku juga pasti tampak sama kacaunya. Aku pakai sweater dan piyama Ken, ukuran XL-nya membuatku mirip orang-orangan sawah.

"Sam did too," tanpa bisa kutahan, aku berkata. We're miserable together.

Kami bertukar pandang sejenak dan menghirup teh masing-masing. Baru beberapa menit kemudian Ken bersuara lagi, "Aku jawab, aku gak bisa memilih. Tyas itu calon istri yang aku pilih sendiri. Sementara kamu...gak mungkin aku bisa hidup tanpa kamu, karena kamu itu kayak...pilihan Tuhan buat aku. Aku berusaha jelasin kalimat itu supaya platonis..."

"Trus?"

"Trus aku disiram minum," ia mengangkat bahu.

"You deserve it," jawabku sambil mengangguk. Sulit dipungkiri kalau aku masih kesal banget sama Ken, gara-gara dia bocor soal kerjaan kemarin malam. Dan tentu saja, kalau aku ada di posisi Tyas, aku juga akan melakukan hal yang sama. Walaupun aku gak bakalan seanarkis itu sih.

"I probably am," ia menatapku lama, read my mind easily. "Tapi aku selalu jujur sama dia. Aku gak bisa bilang kalau aku akan berhenti berteman sama kamu,"

"Why?"

"Because I can't. And I don't want to," lanjutnya, "And I told her that, and she slapped me and throw me the ring."
Whoa. That escalated quickly.

"Kamu udah telpon dia?"

"Kayak maniak. Chat, telpon, DM twitter, DM instagram, sampai SMS. Dibalas sekali doang," Ken memberiku ponselnya. Aku mengeluarkan handphoneku. Another weird things we do: we could easily swapped phone without any hesitation. Like at all. I read all his flirty chats, he saw all my try-to-be-pretty-selfies. Nothing to hide.

StuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang