Bagian 10

1.2K 65 0
                                    

"Tentang apa, Zea?" Taiga sangat ingin mengetahui apa yang Zea inginkan karena ini pertama kalinya Zea meminta sesuatu padanya.

"Aku memintamu agar selama ayahmu sakit, apabila telah diijinkan untuk keluar dari rumah sakit ini, bukankah sebaiknya kalau ayah dan ibumu tinggal di rumahmu, mungkin untuk beberapa hari saja? Kasihan Ibu, dan Toma pasti juga akan senang." Zea mengatakannya, "Maaf sebelumnya, jika aku terlalu ikut campur."

"Aku tak keberatan Zea...aku bingung denganmu, ayahku membencimu tapi kau...mungkin itu yang menyebabkan aku menyukaimu."

Taiga paham maksud Zea akan kesempatan ini untuknya.

"Alhamdulillah."

"Apa itu?" Kata-kata asing yang belum pernah didengar Taiga membuatnya ingin tahu apa artinya.

"Anggap saja aku sedang bersyukur pada Allah saat mengatakannya"

Ibu Taiga datang bersama beberapa orang pelayan membantunya membawa tas berisi pakaian ayah Taiga. Kemudian ia duduk memegang tangan suaminya itu. Perlahan-lahan ia melihat mata suaminya mulai terbuka.

Segera dipanggilnya dokter yang merawat pria itu. Dokter memeriksanya dengan hati-hati. Kemudian Taiga dan Zea memasuki ruangan lalu menanyakan bagaimana kondisi ayahnya.

"Mohon maaf sebelumnya, Mr. Fujisaki lumpuh... Kami sudah berusaha terbaik, tetapi beliau telah lumpuh." Dokter mencoba menjelaskan. Ibu Taiga menangis mengetahui hal ini, Taiga memeluknya erat. Zea juga ikut bersedih.

Para petugas medis keluar dengan memberitahukan bahwa pihaknya tak bisa berbuat apapun. Taiga bertanya apakah ayahnya bisa pulang ke rumah dirawat oleh keluarganya. Dokter memperbolehkan dan akan meminta salah satu petugas medis akan datang memeriksanya setiap hari.

"Ibu dan Ayah akan tinggal di rumahku." Taiga membaritahu Ibunya.

"Aku akan membantu merawat ayah untuk sementara." Zea mengatakannya sambil memegang tangan ibu Taiga yang sangat sedih.

Mereka semua sampai ke rumah besar Taiga.

Taiga mendorong kursi roda ayahnya dengan kehati-hatian. Ibu Taiga sebenarnya sedih, namun ia bahagia melihat ayah dan anak yang akur. Toma keluar menyambut mereka. Setelah mengantar kedua orangtuanya sampai di kamar, Taiga mohon ijin untuk mengurus sesuatu hal di kantornya.

Ibu Taiga dan Zea membantu ayah Taiga untuk keluar dan Toma bermain di sekelilingnya. Toma sangat bahagia kelihatannya. Ibu Taiga mengajak Zea untuk membuat makan siang bersama dengannya. Zea membantunya mengiris-iris sayuran dan lainnya yang mungkin bisa ia bantu.

"Zea, seberapa jauh memangnya hubungan kalian?" Ibu Taiga mulai penasaran dengan yang menurutnya calon menantunya itu.

"Entahlah Ibu." Zea hanya membalas dengan senyuman hangat.

"Apa kalian sudah berciuman? Tidur bersama?"

"Huh, tidak Ibu...maafkan aku." Zea merasa bingung menjawab pertanyaan aneh ini.

"Tak usah minta maaf, aku tahu anak muda zaman sekarang...tak usah malu-malu, kau tinggal disini dan pasti Taiga sangat serius dengan hubugan kalian. Aku Ibunya Taiga, putraku itu sangat sibuk dan belum pernah aku melihatnya serius dengan seorang wanita."

"Ehem, kami hanya tidak mempunyai waktu untuk melakukannya." Zea hanya bisa menjawab hal ini.

"Ah, iya Taiga sangat sibuk ya. Kau akrab dengan Toma, dia memanggilmu 'Mama'...pas sekali, semoga hubungan kalian lancar." Ibu Taiga tersenyum saat mengatakan kalimat ini

"Karenamu putraku bisa berubah Zea, tak pernah ia sebaik ini pada ayahnya." Ibu Taiga sangat menyukai Zea.

"Tidak Ibu, Taiga sendiri yang melakukannya, aku tak melakukan apapun." Zea hanya bisa tersenyum balik. Ia merasa tak tega telah bersandiwara di depan orang sebaik ini. Taiga memang sudah keterlaluan.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang