Bagian 22

1.1K 55 11
                                    

Setelah Chiaki mengantar Zea kembali ke hotel, bergegas Zea mempersiapkan beberapa laporan, proposal, data-data dan 'perasaan' untuk bertemu dengan Taiga.

Bagaimana ia nanti melihat mata Taiga?

Apakah ia bisa fokus mengenai urusan pekerjaan nantinya?

Pria itu dengan mudahnya memaksanya kembali ke dekapannya lagi, membuatnya tak berkutik. Zea mondar-mandir tak karuan, mencoba berbaring di tempat tidur, tetapi pikiran-pikirannya tentang pertemuannya dengan Taiga menghantui.

Apakah Taiga akan marah dan benar-benar ingin memutuskan hubungan mereka?

Mengingat sekian kali Taiga menelpon, tapi tak diangkatnya, terpampang dalam daftar panggilan yang tak digubrisnya sebelumya.

Jari ini beberapa kali mencoba menekan tombol untuk memanggil namanya dalam telepon malam ini, tapi ditahannya, berpikir ulang kembali.

Terkejut ketika sebuah panggilan telepon datang.

"Ya Allah, akhirnya diangkat teleponmu."

"Maaf Ma, sibuk ini mengurus pekerjaan."

"Oh, jangan lupa kalau libur segera ke rumah ya. Kabari dulu supaya nanti bisa Mama atur ketemu sama anak temen Mama itu!" Sebenarnya terdengar tak jelas, tetapi tentu kalimatnya akan jadi seperti ini.

"Ah...maaf sinyal." Telepon itu mati dengan alasan sinyal.

Menghapus sedikit demi sedikit keinginan untuk menelpon Taiga ya dengan alasan sinyal. Tentu saja ketika Zea sampai di Jepang nanti, hanya alasan untuk mengembalikan cincinnya lah yang menemaninya, bukan menanti Taiga memasangkannya kembali di jari manisnya.

Okay jadi nanti ketemu Taiga aku harus berkata apa? Maaf tentu...tapi bagaimana aku menatap matanya...uh lelahnya diriku hari ini...apa pura-pura tak kenal?

"Selamat siang, Mr. Fujisaki..." begitu? astaga gak lucu

"Ini berkas...hmm Sir?" Ugh...bagaimana yaa...


Zea melihat jam dan ia berpikir lebih baik bergegas untuk berangkat ke bandara.

Segalanya seperti sangat cepat, ia mulai menaiki pesawat, entah apakah memang ada rasa segera bertemu dengan Taiga dalam benak pikirnya.

Sepertinya AC nya terlalu dingin, uh...atau badanku yang tak sehat ya...

Perjalanan panjang menuju Jepang tentu ia selingi dengan tidur walau juga membaca beberapa bahan agar tidak lupa ia akan berhadapan dengan seorang pimpinan Fujisaki Group.

Tidak ada yang indah dilihat dalam kaca pesawat, kabut, gelap, rindu, dan apa yang menantinya disana.

Kok mulai pusing ya, tapi aku harus bertemu dengan Taiga beberapa jam lagi. Bismillah...

Menengok ke arah cincin yang tak luput, tak ingin berpisah satu detik pun dari jari manis Zea. Bukan artinya pertemuan mereka nantinya hendak memperpanjang rasa sakit ini, tetapi ya menyelesaikan masalah. Cincin ini harus dikembalikan, pikir Zea.

Seorang anak lelaki seumuran dengan putra Taiga yang berjalan melewatinya, menyingsingkan rasa rindunya pada Toma. Bagaimana kabar bocah lelaki yang sangat manis itu, apakah dia juga merindukan Zea. Segala pertanyaan menggenangi, yang hanya bisa terjawab dengan pertemuan bukan anggapan palsu, ataupun pemikiran yang tidak-tidak.


-------------------------

"Taiga, di mana menantuku?!" Ucap seorang wanita paruh baya yang bergegas menuju kedatangan Taiga.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang