Bagian 15

1.3K 67 10
                                    

Setelah mereka berdua makan siang, Taiga mengantar Zea yang tampak tak bisa menyembunyikan perih di hatinya dari pertemuan ini.

Mereka sampai di hotel, di lobi ada Ika sedang berbincang-bincang dengan Umar dan Malik. Tentu ketika Zea datang, mereka kaget ketika melihat Taiga bersamanya.

"Mr. Taiga, sejak kapan Anda disini?" Umar bertanya melihat mereka berdua, sedangkan Zea tampak murung.

"Satu minggu, hari ini aku akan segera kembali ke Jepang." Mendengar hal ini Zea langsung menatapnya kaget. Kenapa cepat sekali? Baru beberapa menit mereka bertemu, tapi akan berpisah kembali. "Aku ingin mengajak putraku ke suatu tempat dengan pertemuan yang sangat penting nantinya." Taiga membicarakan hal ini dengan senyuman manisnya.

"Padahal kami berencana mengundang Anda makan malam. Benar, Zea?" Malik seperti merasakan hal aneh terjadi pada mereka berdua.

"Maafkan aku Malik, sepertinya aku tak enak badan...Oh ya, Taiga, ini adikku Ika, dan hati-hati dalam perjalanan pulangmu, dan maaf ya sepertinya aku harus segera ke kamar, sampai jumpa."

Taiga tahu bahwa senyuman palsu itu sangat menggerogoti hatinya, Taiga tahu bahwa wanita itu masih menyimpan cintanya, Taiga tahu wanita itu juga sangat menginginkannya.

Zea langsung masuk lift untuk segera menuju kamarnya. Tangisan yang coba ia tahan sangat mencekik baginya, bahkan setelah lift itu menutup wajah Taiga di hadapannya Zea menangis. Ia tak tahu kenapa ia seperti ini. Sudah satu tahun pria itu hanya hidup dalam kenangannya tapi ketika ia muncul langsung menghamburkan segala bentuk harapannya yang ia tahu itu tidak mungkin. Zea bisa apa, tentu hanya kepada-Nya ia berserah diri.

"Apa yang terjadi? Apa kalian bertengkar?" Umar bertanya.

"Entahlah, hanya membicarakan sesuatu yang penting. Sampaikan salamku padanya! Wassalamu'alaikum..."

Orang yang penting, hal yang penting, memori yang penting, semuanya penting.


-----------------------------------

Zea kembali ke Indonesia dengan Ika.

Mulai saat terakhir ia bertemu dengan pria yang sangat-sangat dicintainya itu, Zea hanya diam membisu. Ia hanya beristighfar memohon ampunan Allah. Zea tahu ia mendoakan Taiga selalu yang terbaik untuknya, ini berarti yang terbaik untuknya.

Wanita itu pasti sangat baik untuk Taiga. Zea tahu bahwa Taiga menikah nanti pasti itu pilihan terbaik Allah. Tapi, setiap kali ia mengingat suara Taiga di kepalanya itu mengatakan tentang wanita yang akan dinikahinya itu sangat sakit dadanya.

Mungkin memang butuh waktu bagi Zea menerima hal ini.

Waktu?

Waktu yang telah membuat mereka bersama, yang telah membuat mereka berpisah, yang telah membuat mereka saling merindu, yang telah membuat mereka dipertmukan kembali, yang telah membuat mereka berpisah dengan kata-kata yang menyakitkan, dan apakah juga yang akan benar-benar menyatukan?

"Kak, pria yang mengantarmu waktu itu sangat tampan...hebat sekali bisa mengenalnya." Ika masih ingin mengungkit hal ini, ia sebenarnya ingin kemurungan kakaknya akhir-akhir ini sirna.

"Benar, dia sangat tampan Ika. Sayangnya ia akan segera menikah." Ada buih rasa sakit di setiap suara yang coba ia katakan.

"Ehem, 'sayang'?"

"Sa-yang-nya!"

"Bercanda Kak... Hmm benarkah? Padahal cocok loh kalau sama Kakak, walau aku pertama kali lihat rasanya pingin langsung menjodohkanmu dengannya Kak!" Ika masih bersemangat dengan hal ini.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang