Bagian 19

925 40 3
                                    

Keesokan malamnya Zea berpikir harus segera memperkenalkan Taiga pada orang tuanya.

Ada alasan mengapa orang tidak mengatakan sesuatu yang penting. Pertama karena belum waktu yang tepat. Kedua khawatir dengan respon yang setelah dikatakan. Ketiga memang bukan untuk orang yang tepat.

Ada alasan mengapa orang tidak bertanya. Pertama karena tidak berani atau takut apabila pertanyaannya tak pas. Kedua karena merasa bisa mencari jawaban sendiri, merasa sok tahu. Ketiga karena malas dan tidak peduli.

Setiap waktu selalu dihadapkan pada pilihan mengatakan sesuatu, dan bertanya, hingga waktu sendiri menyelam pada kehampaan tanpa kata dan tanpa tanya. Waktu hanya menjadi saksi, yang terkadang dikambing hitamkan karena alasan penyesalan.

Zea mencoba menggapai permukaan dari lautan dilema dalam pikiran dan hatinya, bagaimana ia menjelaskan rencana masa depannya dengan Taiga pada orang tuanya?

Seharian penuh Zea memikirkan hal ini, dan rencananya malam ini ia akan mencobanya.

Hari ini aku harus mencoba mengatakan pada orang tuaku! Semangat!

Tangan Zea meraih ponsel di hadapannya, namun terhenti ketika ia mengingat sebuah ingatan mimpi buruk saat tengah kuliah beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, mimpi itu selalu tak berujung dalam pikirannya.

Mimpi mengenai orang tuanya yang tak pernah setuju dengan lelaki pilihannya. Menghantui sepanjang jalan ditempuhnya mengiringi jarak yang selalu tak luput diacuhkan ketika ia mencoba menjalin sebuah hubungan.

Tiba-tiba dering ponselnya menyadarkannya, terlintas panggilan dari nomor orang tuanya.

"Kak aku diterima di Turki!" Suara kecil adiknya memberi sebuah informasi penting.

"Ika? Eh maksudmu?" Sontak Zea yang kaget mendengar suara adiknya kegirangan.

"Itu sebelum pulang aku dikasih tahu sama Omar kalau ada recruitment di salah satu perusahaan temannya di Turki...nah aku coba dan yess aku lolos!"

"Wah...benarkah? Alhamdulillahh." Saat ini hati Zea sedang bersyukur.

"Tapi kak mungkin beberapa hari lagi aku juga harus segera menyiapkan apartemen dan lainnya juga deh, hmmm."

Aku harus mencoba mengatakannya aku gak bisa terus seperti ini.

"Ah hmmm, eh Ika...Mama sama ayah gak lagi sibuk? Aku mau nelpon nih."

"Oh iyaiya sebentar, kemarin juga tanya terus katanya ada yang mau Mama bicarain ke Kakak." Suara Ika berhenti memberi jeda, "Ok bentar ya kak."

"Zea, astaga nak kenapa baru telpon."

Bismillah ya Rabb...

"Iya Ma...ehem sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting."

"Eh Mama juga punya, itu loh kemarin anaknya temen Mama yang udah perwira itu loh yang sering Mama ceritain, uhm ganteng banget Zea gagah...dia kemarin sama keluarganya datang katanya pingin ketemu sama kamu."

Aduh perasaanku jadi kurang baik, Ya Allah...apa ini...Oke tenang.

"Ah hmmm begini Ma-"

"Ih dia seumuran loh, udah perwira gagah dan keluarganya juga baik...Mama mau pingin punya mantu kayak dia."

"Ma...sebenarnya ada seseorang nih yang mau ngelamar aku dan ketemu sama Mama sama Ayah." Mengumpulkan sisa-sisa keberanian.

"Eh kok gak pernah cerita kamu kalau lagi deket sama seseorang."

"Ehmmm...dia orang Jepang, dan aku-" Zea hendaknya sambil tersenyum mengatakan ini tetapi terputus oleh lanjut pertanyaan dari ibunya.

"Haa, Zea, orang Jepang? Apa maksudmu, kapan dia mau ke rumah?" Sentak suara Ibu Zea, bernada tinggi.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang