Bagian 21

1K 50 10
                                    

Malam berganti malam, waktu untuk konser resital Chiaki di depan mata. Zea datang mengapresiasi seorang teman baik yang baru dikenalnya.

Gedung yang penuh dengan orang-orang yang duduk rapi menunggu bintang di atas panggung itu. Sebuah grand-piano hitam antik sudah diletakkan sendirian di atas panggung menanti jari-jemari yang akan membangunkannya.

Gedung ini penuh, semua orang berkelas berpakaian rapi berdatangan mengisi sekian kursi. Zea duduk sembari membaca judul lantunan irama klasik apa yang akan Chiaki mainkan. Chopin, ya Chopin, pianis romansa yang merupakan favoritnya.

Lampu mulai redup, menyongsong cahaya paling terang dari arah panggung. Seorang pria muda dengan tuxedo hitam yang menambah kesan memikat padanya, datang diiringi oleh tepuk tangan para penonton. Pria itu membungkukkan badannya ke arah penonton sebelum duduk di depan piano. Chiaki dengan gagahnya tengah duduk pada singgahsana, posisi yang berbeda dihadapan setiap kursi di setiap sudut ruangan.

Penonton mulai menyisakan kesunyian yang harap bahwa jari-jemari sang bintang lah yang berhak mengisi melodi-melodi. Sebuah nada mengawalinya dengan manis dilanjutkan nada lain yang membentangkan melodi yang indah.

Setiap pasang mata bahkan hampir saja lupa untuk berkedip, tak rela menutup sekian detik pandangan. Beberapa lainnya hanyut, menutup mata membayangkan melodi itu mengundangnya memanggil memori-memori indah yang pernah terjadi dalam hidupnya, maupun harapan yang mereka mimpi-mimpikan. Yang benar saja setiap orang pernah merasakan cinta, hingga hanyut pada arus lautan melodi emosi yang Chiaki ciptakan.

Apa-apaan dengan permainan yang terlalu indah ini, apakah ini juga yang Chiaki rasakan?

Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Pahit manis hambar pedih apapun itu, membumbui setiap kenangan dan mengembangkan emosi dalam proses kedewasaan, yang mengemban tugas untuk memutuskan sesuatu pada setiap masalah yang muncul. Detik waktu yang terkadang mengesalkan pada orang-orang saat bosan menunggu cinta, maupun yang menghitung setiap detik bentang kenangan yang mereka lalui, melekat pada memori, tak bisa dengan mudah terlupakan begitu saja.

Sebuah permulaan yang indah, hingga masuk pada lagu kedua, sebuah lagu yang menggetarkan hati Zea.

Sayup-sayup lagu ini meraba-raba sebilah memori Zea dengan Taiga. Ya, pria itu pernah memainkan ini hanya untuknya. Nada indah yang pernah saat lalu menenangkannya untuk membuatnya tidur, bagaimana ia bisa lupa.

Zea terpaku dengan emosi datar, perlahan tertunduk, tangan kananya menyentuh dahinya. Saat mereka berdua di rumah Haruto, pria yang dengan lembutnya memainkan nada ini sembari tersenyum mengharapkan cerminan balas senyuman pada wajah Zea yang sedang pucat pasi tengah kesakitan.

Hanya kenangan yang berselang hingga Zea kembali mengingat hal kejam yang ia lakukan, meninggalkan pria itu, tanpa membalas senyuman dan kebaikannya. Darah yang mendidih oleh amarah pada diri yang rendah ini, menumpahkan segala kesedihan dan sesak sesal pada air mata yang dengan deras mengalir.

Riuh dalam pikirannya, namun bibirnya tertutup rapat menahannya, menurutnya ini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan emosinya, tetapi apakah bisa ditebak sebelumnya bahwa bom waktu emosi memilih tempat yang tepat.

Uluran tangan seorang pria yang duduk disampingnya memberikan sapu tangan yang terlipat rapi. Tanpa pikir panjang, Zea mengambilnya dengan tangan yang bergetar tanpa melihat siapa orang itu bahkan jika ada kesempatan untuk melihat sosok itu akan terhalangi oleh redupnya lampu juga air mata yang memenuhi pandangannya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.

Mengusap air matanya, entah kenapa benda ini serasa tak asing, ataukah memang pikirannya yang sedang kacau.

Telinganya serasa tak henti-hentinya membiarkan alunan lagu ini terdengar begitu merdu.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang