Bagian 11

1.2K 63 1
                                    

Zea merasa aroma parfum Taiga sedang mengelilinginya, ia kemudian tersadar apa yang terjadi.

Sebuah pelukan.

Zea berusaha dengan sekuat-kuatnya menolak dekapan manis itu, hingga Taiga melepasnya.

Zea sangat kesal karena Taiga terlalu dekat dengannya bahkan hingga hatinya.

Ia tak kuasa membendung segalanya dan Zea menampar Taiga dengan keras sekeras upayanya menjaga agar tak mencintainya.

"Aku membencimu, apa kau membawaku ke sini untuk menjual kehormatanku? Apa kau masih kurang dengan segala yang kau miliki? Aku membencimu Taiga...aku sudah mencoba percaya padamu tapi apa yang kau lakukan." Terisak-isak dan penuh emosi Zea mengatakannya.

"Apa maksudmu Zea? Memangnya apa yang terjadi... Tapi tak pernahkah kau sedikitpun, sekalipun, menyukaiku, mencintaiku Zea, seperti aku yang sudah sangat terlalu mencintaimu? Aku merelakan diriku tersiksa setiap kali melihatmu tak peduli padaku...kau selalu menjadi yang terbaik dalam hidupku...Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Zea...apa kau pernah?" Taiga mengungkapkan perasaan terdalamnya dengan kesal, amarah, dan...

Cinta.

"Cinta? Jika kau mau mendengar apa yang aku rasakan setiap kali melihatmu Taiga, apa kau masih merasa hanya kau yang tersiksa. Sejak awal kita bertemu, jantung ini tak henti-hentinya damai akan kehadiranmu dalam hidupku... kau tahu kalimat yang selalu menghantuiku? 'kita tak mungkin bersatu' hanya itu! Kau tahu agamaku sangat menentangnya... Sekalipun hidup ini bukan hanya tentangmu Taiga!" Zea mengatakannya dengan penuh menumpahkan semua rasa yang ia bendung.

"Zea, kau... juga mencintaiku?" Sudah lama Taiga tidak merasa pipinya terbasahi oleh air mata, ia tak menyangka apa yang Zea katakan sesuai dengan harapannya selama ini.

"Cukup, aku mohon..." Zea berbalik, berjalan sambil menangis tersedu-sedu. Terisak-isak suaranya ia tekan.

Taiga mencoba memanggil-manggilnya namun wanita ini tak mau mendengarnya lagi.

Kemudian langit sepertinya juga merasakan kesedihan ini sehingga menurunkan air matanya. Hujan itu membasahi seluruh tubuh tetapi tak bisa membasahi hati yang sedang terbakar. Tak bisa memadamkan bara perasaan yang sudah menguasai segalanya.

Taiga langsung menaiki mobilnya dan menyusul Zea yang masih menangis. Taiga membuka sebuah payung dan memayungi Zea.

"Zea, baiklah ayo pulang...lakukan saja demi Toma." Taiga dengan lembutnya membujuk Zea. Taiga tak mendengar balasan apapun, hanya wanita itu langsung masuk ke mobil.

Zea terlihat masih menangis, ia mencoba menahan agar tangisannya tak diketahui Taiga, namun sangat sulit. Derasnya air mata seakan berlomba dengan air hujan di luar sana.

Suasana mobil itu sangat sunyi yang terpecah oleh ponsel baru Zea yang berdering. Zea menjawab panggilan itu dan langsung mengubah ekspresi bahkan suasana hatinya.

"Assalamu'alaikum Zea...kenapa baru bisa dihubungi?"

"Wa'alaikumsalam, Ma...iya kemarin ponselku rusak, umrohnya sudah selesai pasti ya...maaf."

"Hei kenapa suaramu aneh, kamu sakit?"

"Iya, di Jepang dingin dan kemarin aku minum es...hahaha." Zea mencoba merubah suasana.

Taiga mendengar percakapan dengan bahasa Indonesia ini penasaran kepada siapa dan untuk apa Zea berpura-pura tertawa.

"Loh, sudah minum obat? Kapan pulang, nak?"

"Iya sudah ini mau tidur...sekarang hujan di sini, hmm mungkin beberapa hari kedepan."

"Oke Mama juga mau tidur. Jangan lupa sholat tahajud... Wassalamu'alaikum"

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang