Bagian 23

911 50 8
                                    

"Umm...Taiga?"

Mobil Taiga berhenti pada sebuah rumah yang besar dengan gerbang nan kokoh berbahan kayu usang, semua bergaya Jepang. Tampak sepi, tapi itu bukan rumah orang tua Taiga.

Seorang pria menunggu di depan gerbang, wajahnya sangar. Bekas sayatan di wajahnya, dan tatapannya membuat Zea langsung memegang erat lengan baju Taiga.

Zea heran dengan Taiga yang sejak tadi tak menjawab pertanyaan atau membalas pernyataannya.

Pria itu membungkuk di depan Taiga. "Taiga-sama, Nyonya besar telah menunggu kedatangan Anda." Tentu dengan bahasa Jepang yang sama sekali Zea tak mengerti.

"Ta...Taiga?" Zea bingung, tetapi Taiga yang tiba-tiba memegang tangannya erat sedikit menenangkannya.

Memasuki gerbang, sepertinya ada 20 orang berbaris rapi menyambut mereka, semua orang itu ya berwajah sangar seperti orang tadi. Sangat besar, rumah atau bangunan elok tanpa ada sentuhan budaya modern, seperti harta turun temurun keluarga.

"Selamat datang, Taiga-sama." Membungkuk serentak pada Taiga dan Zea yang berjalan melewati mereka.

"Zeeeaaaaa!" Dari kejauhan Zea mendengar teriakan namanya. Suara lantai kayu yang menjadi landasan lari cepat seseorang, menggema. Terengah-engah seorang pria datang dengan piyama yang tak karuan, rambut acak-acakan dan wajahnya pucat.

"Chiaki-dono!" Suara seorang pria yang menyusulnya.

"Chiaki?" Zea kaget mengapa ada Chiaki disini.

"Cih! Kenapa ada Ta-chan!" Sinis Chiaki saat melihat Taiga.

"Pfft, aku hanya ingin menjenguk temanku yang sedang sakit bersama dengan calon istriku." Sindir Taiga pada Chiaki yang tambah memerah karena marah.

"Sialan...kalau Zea bertemu denganku duluan pasti aku yang akan menikahinya!"

"Chiaki-dono, Anda tidak boleh seperti itu! Tidak baik mengganggu hubungan orang lain!" Seorang pria yang mengejar Chiaki tadi berucap sangat tegas pada Chiaki. "Anda harus segera beristirahat." Langsung menarik Chiaki secara paksa.

Apa yang mereka bicarakan? Bicara Bahasa Jepang semua, aku tak paham...

Zea terdiam saat itu, hanya bisa mengikuti Taiga yang diarahkan pada sebuah ruangan utama.

"Zea jawab saja dengan senyuman ya..." Bisik Taiga.

"Hah? Ini di mana? Kita mau ngapain?" Balas bisik Zea yang tidak dihiraukan oleh Taiga.

Mereka berdua masuk pada sebuah ruangan, ada seorang nenek yang duduk dengan santainya meminum teh.

"Ba-san." Taiga memanggil nenek tersebut.

"Taiga, waaaa jadi ini calonnya, kawaii ojou-san nee."

"Benar, Ba-san...aku mohon restu." Taiga dengan sopan meminta

"Ah, tentu saja. Seperti yang kau tahu nenekmu menitipkan ini pada calon istri cucunya, Taiga." Memberikan sebuah kantong kain mungil jahitan tangan yang tentu telah usang.

"Terima kasih, Ba-san."

"Pastikan kau sendiri yang memasangkannya, aku doakan pernikahan kalian lancar." Nenek itu tersenyum pada Zea dan Taiga. Walaupun Zea tidak paham arti dari semua pembicaraan mereka, tapi entahlah jika dikatakan tentang firasat, terasa akan ada hal baik yang terjadi.


"Ehm, Taiga...apa yang kalian bicarakan!" Tegas Zea dalam mobil

"Heheh, entahlah..." Tertawa Taiga yang sengaja membuat Zea penasaran, tetapi sepertinya memang rencananya.

Kelopak Sakura di Jabal Rahmah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang