Berjumpa Dengan Calon Mertua

291 23 1
                                    

Cahaya matahari sungguh menyengat siang ini. Orang-orang pun juga tak mau berlama-lama di bawah sinarnya, karna tak tahan dengan panas membakar kulit tubuh siapa saja. Suara knalpot kendaraan roda dua maupun roda empat saling bersahutan dan berlomba-lomba mengeluarkan asap dari knalpot kendaraan mereka. Sungguh lengkap sekali dari panas ditambah macet apalagi banyak polusi bertebaran dengan dampak buruknya yang terkandung di dalamnya.

Pemuda berbaju putih abu-abu melirik kaca spion motornya, terdapat wajah perempuan berbaju putih abu-abu sama dengannya, namun berbeda sekolah. Rasa iba hinggap di hatinya melihat peluh berjatuhan dari kening perempuan yang diboncengnya.

“Panas, ya? Gue minta maaf deh,” Senja berteriak agar suaranya bisa mengalahkan suara bisiknya knalpot kendaraan.

Perempuan itu memajukan sedikit badannya, sehingga mulutnya tepat berada di samping telinga pemuda itu.

“Kenapa minta maaf?” tanya Anaya penasaran.

Senja membalas dengan berteriak. “Karna gue udah bikin lo kepanasan.”

Terlihat dari kaca spion motor perempuan berbaju putih abu-abu tersenyum dengan kedua pipi memerah. Spontan pemuda itu terkekeh melihatnya.

Lampu merah kini berubah menjadi lampu hijau. Kendaraan roda dua maupun roda empat berlomba-lomba-lomba menarik gas sekencang mungkin agar terbebas dari kemacetan lalu lintas jalan tak terkecuali pemuda berbaju putih abu-abu.

Akhirnya motor yang dikendarai oleh pemuda berbaju putih abu-abu berhenti di salah satu rumah bergaya klasik berwarna hijau pupus.

Perempuan yang diboncenginya turun dari motor dan meminta tolong kepada satpam rumahnya untuk membukakan gerbang. Setelah dibukakan gerbangnya, Senja memarkirkan motornya di pelataran rumah Anaya.
Mereka berdua berjalan memasuki rumah itu disambut dengan seorang lelaki paruh baya berbadan gagah walaupun sudah lanjut usia.

Anaya mencium tangan ayahnya yang diikuti oleh pemuda berbaju putih abu-abu itu. Lalu, mereka bertiga menuju ke ruang tamu.

Setelah Anaya berpamit ke atas pada ayahnya. Rasa canggung tercipta ketika dua kubu saling melemparkan tatapan. Sebenarnya pemuda berbaju putih abu-abu agak takut bertemu dengan ayahnya Anaya, tetapi kesempatan tidak akan datang dua kali.

Baru saja dirinya duduk tatapan tajam dari Atmaja menghunus ke tubuhnya. Seperti sebuah pedang yang mampu membelah tubuhnya menjadi dua. Rasa gugup melanda hatinya, melihat raut wajah Atmaja membuat tubuhnya meremang. Sekali lagi dirinya menghela nafas.

“Silakan duduk!” instruksi Atmaja.

Mungkin kalau disuruh lihat hantu atau ayahnya Anaya, pasti Senja memilih opsi yang pertama. Walaupun hantu seram, tetapi ayahnya Anaya lebih dari kata seram.

‘Brakkhh'

“SETAN, BANGSAT,” Senja refleks memukul mulutnya sambil meringis sesekali saat melihat merahnya wajah Atmaja.

Sebuah gebrakan meja membuat dirinya mengumpat di hadapan calon mertuanya. Baru kali ini dirinya menyesal mempunyai mulut yang suka bicara asal ceplos. Tangannya memukul mulut murahnya itu.

“Anjritttt... Sepuluh persen pencitraan gue hilang,” jerit batinnya.

Mata elang milik Atmaja menghunus ke arah pemuda berbaju putih abu-abu.

“Kamu ngatain saya!” bentaknya.

Keringat dingin berjatuhan di pelipis pemuda itu. Dengan suara gemetaran ia menjawab.

“Engghhh... Itu, om. Anu... Tadi arwah kucing tetangga saya lewat, om,” Senja meringis dengan jawaban yang ia buat.

Karna tak mau memperpanjang waktu, Atmaja memberitahu maksud dirinya mengundang pemuda itu.

“Jelaskan maksud dari surat ini!” tanya Atmaja sambil melempar sebuah surat di atas meja.

Ditanya seperti itu membuat Senja susah menelan salivanya sendiri.

“Anu... Om,” Atmaja mengangkat sebelah alisnya. “Saya... Saya... Saya mau minta izin buat dekat sama anaknya, om,” Senja menjawab dengan gagap.

Atmaja mencondongkan badannya ke depan, sehingga wajahnya sejajar dengan pemuda berbaju putih abu-abu itu.

“Alasan?” tanyanya.

“Karna saya suka sama anak, om,” jelas Senja.

Lelaki paruh baya itu menganggukkan kepalanya.

“Apa jaminannya?”

Pemuda berbaju putih abu-abu itu menarik nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan.

“Saya nggak punya jaminan buat suka sama anak om, tetapi saya punya kesetiaan buat mempertahankannya,” pemuda itu menjawab dengan mantap.

Sekali lagi Atmaja mengangguk sambil bersedekap.

“Oke, kalau begitu besok saya tunggu di sini,” titahnya. “Dan kalau kamu tidak datang, saya anggap kamu gugur sebelum berperang,” lanjutnya.

Dengan semangat empat lima Senja mengangguk tak sabar, karna ini adalah kesempatan untuknya. Lalu, dirinya pamit pulang dan tak lupa meminta tolong untuk berikan salam kepada Anaya yang disanggupi oleh Atmaja.

                                                             ___o0o___


Jangan lupa votmen sebanyak-banyaknya ya.







Cinta Kelabu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang