Mendekap Luka.

279 14 0
                                    

“Dirimu dulu selembut kapas, sampai membuatku tak ingin lepas mendekapmu. Tetapi, dalam kapas itu ada ribuan jarum yang menusuk tubuhku.”

–––o0o–––


Anaya menstabilkan napasnya agar tidak sesak. Keringat basah sudah mengalir di seluruh tubuhnya. Merasa pegal pada area kakinya yang terus mengayuh pedal sepedanya.

Matahari sudah menyongsong tinggi di langit bertanda bahwa hari telah siang. Sedangkan, Anaya masih berada di luar lingkungan sekolah. Bukan karna terlambat, melainkan ia sedang bolos. Tujuannya kali ini adalah menemui kekasihnya.

Saat ini, Anaya berdiri di depan gerbang sekolah Senja. Ia menimang pikirannya untuk masuk ke dalam atau tidak. Karena rasa penasaran yang paling dominan, ia memilih masuk ke dalam.

“Ramai sekali,” gumam Anaya saat masuk ke lingkungan sekolah itu.

Matanya berkeliaran mencari seseorang yang dikenalnya. Seorang pemuda memakai jaket kulit berwarna hitam dengan lambang tengkorak di punggung berjalan melewatinya. Anaya berpikir seperti kenal dengan sosok itu.

“FAJAR...!” refleks Anaya berteriak kencang saat sebuah nama melintas di otaknya.

Pemuda itu menoleh ke arah Anaya mengerutkan keningnya. Lalu, mendekat ke arah Anaya. “Siapa, ya?” tanyanya.

“Aku, Anaya. Pacarnya Senja.”

Fajar sukses melotot. “Lo, pacarnya bos?” Anaya mengangguk. “Ngapain di sini?”

“Aku lagi cari Senja. Senjanya, ada?”

Fajar menggeleng. “Nggak ada. Dari kemarin juga bos nggak gabung sama kita,” jelasnya.

Anaya menghela napasnya. “Oke, makasih informasinya, ya.”

Fajar mengangguk dan pamit pergi untuk bergabung dengan yang lainnya.
Anaya berjalan gontai keluar area sekolah. Mengambil sepedanya di samping gerbang dan melajukan sepedanya tak menentu arah.
Ke mana lagi ia mencari keberadaan Senja. Anaya tidak tahu lagi tempat mana yang sering dikunjungi oleh Senja selain warung amal dan panti asuhan.
Rasanya Anaya ingin menghubungi Apip atau Dewa untuk meminta bantuan dari mereka. Tetapi, Anaya tidak mempunyai nomor telepon mereka. Berulang kali Anaya menghembuskan napasnya lelah. Semoga kali ini Senja ada di tempat itu.

Anaya berhenti di sebuah pohon besar dekat warung amal. Dari jauh terlihat segerombolan pemuda-pemuda dari geng SEMPAK. Lalu, ia buru-buru meletakkan sepedanya di samping pohon itu. Dan bergerak melangkah lebih dekat ke warung amal.

“Hai...,” sapa Anaya.
Pemuda berjaket denim yang sedang menunduk mengangkat kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Mata pemuda itu mengerjap tak percaya.

“Lo ngapain di sini?”

Binar di mata Anaya redup seketika. “Kamu nggak suka aku di sini?” tanyanya balik.

Senja gelagapan mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya menimbulkan suara decitan antara bangku dengan lantai. “Nggak gitu. Gue kaget aja lo di sini,” tanpa di sadari Senja, ia telah mengubah panggilannya untuk Anaya.

“Kamu panggil aku ‘gue-lo’?”

“Eh. Aduh... Maksud aku, kamu kok bisa di sini?” Senja mencoba mengalihkan pembicaraannya untuk menghilangkan rasa canggung.

“Aku cari kamu.”

“Kenapa?” Senja mengerutkan keningnya.
“Kamu kenapa cari aku?” tanyanya bingung.

“Aku mau minta maaf sama kamu. Gara-gara aku, kamu jadi di marahin sama Ayah, ” papar Anaya.

Senja memegang kedua bahu Anaya menatap dengan serius. Usapan lembut di pucuk kepalanya membuat Anaya terlena. Senja menyelipkan untaian rambut Anaya ke samping telinganya.

“Hei, maaf. Harusnya aku yang meminta maaf duluan sama kamu. Aku mau menjelaskan tentang masalah kemarin.” Senja menarik Anaya untuk duduk.

Tatapan lembut membuat Anaya nyaman berada dekat dengan Senja. Anaya merasa merinding ketika kedua pipinya diusap oleh Senja dan jarak antara mereka pun hampir tak ada.

“Sebenarnya, Riana itu...,” jeda Senja membuat Anaya penasaran.

“Riana, siapa?” tanya Anaya.

“Riana itu tem—“ ucapan Senja terpotong oleh getaran dari teleponnya.

Dddrrrrrttttt

Senja merogoh kantong jaketnya. Ia meminta Anaya menunggu sebentar. Anaya mengucapkan sabar di dalam hatinya berulang kali. Terlihat Senja sangat serius sekali berbicara dengan orang di telepon sana. Senja datang menghampirinya dengan wajah cemas.

“Kenapa?”

“Riana, ngeluh sakit lagi tadi. Mamahnya minta tolong buat aku jagain dia,” jelas Senja sambil mengambil tasnya. “Aku pergi dulu. Kamu tunggu aja di sini,” ucapnya terkesan buru-buru.

Motornya Senja menghilang dalam sekejap dari pandangan Anaya. Anaya melihat semua kelakuan kekasihnya itu, yang terlihat cemas sekali.

Aku kalah, batin Anaya.

Di seberang jalan terdapat sebuah mobil berwarna hitam yang terus mengintai keberadaan Anaya. Di dalam mobil itu ada dua sosok lelaki yang berbeda usia. Lelaki paruh baya dengan seragam kebanggaannya menatap sendu putri tercintanya.

“Erlan, lihatlah putriku! Bodoh sekali putri semata wayangku itu yang sangat percaya dengan cinta dunia,” ujar Atmaja kepada Erlan– ajudannya.

Erlan mengangguk, tetapi tak lama lagi Erlan menggeleng. Atmaja gemas melihat ajudan kepercayaannya yang plinplan.

Cinta Kelabu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang