Ketika Hati Memilih

348 26 4
                                    

“Ketika hati menemukan tempat ternyaman untuknya, maka ia pun  akan menggenggamnya seerat mungkin.”
                                                      ___o0o___

Di sebuah rumah berlantai dua berwarna biru awan terdapat anggota geng motor SEMPAK sedang berkumpul. Bukan hanya berkumpul saja, tetapi bagaikan berada di surga. Karena semua jenis makanan atau minuman sudah tersedia dan semuanya gratis tanpa bayar. Memang rugi bagi sang pemilik rumah, namun sang tuan mementingkan solidaritasnya dari pada uang.

Pintu dua yang terbuat dari kayu jati terbuka lebar dengan terlihatnya sosok pemuda berbaju putih polos dibalut jaket denim membuat pesona pemuda itu menguar ke mana-mana.

Semua anggota geng SEMPAK baik lagi duduk, maupun bercanda langsung berdiri tegak seketika melihatnya. Karena, raja setan jalanan sudah keluar dari istananya.

“SALAM HORMAT KEPADA PADUKA RAJA” teriak anggota geng SEMPAK.

Senja mengerutkan keningnya mendengar teriakan itu, berbeda dengan kedua temannya yang berada di belakangnya melambaikan tangannya seperti model berjalan di karpet merah.

“Kapan lagi kita disambut kaya raja,” bisik Dewa.
Apip mengangguk membenarkan ucapan dari Dewa.

Mata mengintimidasi dari Senja membuat nyali Apip dan Dewa menciut ketika ditatap seperti itu. Langsung saja mereka terdiam memberhentikan aksi memalukannya.

“Dasar kampungan!” maki Senja, membuat kedua temannya meneguk salivanya kasar.

Tiba-tiba suara lengkingan nyaring dari dalam rumah memutuskan aura kegelapan dari Senja. Keluarlah sosok wanita paruh baya dengan membawa sebuah sisir di tangannya.

“Senja, rambut kamu belum disisir,” ucap Medina selaku bundanya Senja.

Apip dan Dewa menghela napas lega ketika sang penyelamat dunia datang tepat waktu sebelum mereka kebanjiran kena semprot dari bosnya.

Senja menghela napasnya gusar. “Ya ampun, bunda. Rambut aku itu udah sesuai kriteria pemuda milenial. Jadi, nggak perlu disisir lagi.”

‘Pletak'

Satu jitakan mendarat di kepala Senja. Pemuda itu meringis sambil mengusap kepalanya, sedangkan Apip dan Dewa cekikikan melihat bosnya tersakiti.

“Sakit, Bun,” desis Senja.

Medina berkacak pinggang seperti ibu-ibu penagih kontrakan.

“Heh, kalau dikasih tahu sama orang tua itu nurut jangan melawan. Memang kamu mau jadi kembaran batunya Malin Kundang?”

Sabar, orang sabar sawahnya lebar. Tapi, orang tua gue nggak punya sawah terus sawah siapa yang lebar? Batin Senja.

‘Pletak'

Satu jitakan membuat pemuda itu kembali ke alam sadarnya.

“Bukannya pikir malah melamun. Dasar bocah! Sudahlah, mendingan kamu pergi,” usir Medina.

Pemuda itu berdecak sebal dan menyuruh para anggotanya untuk meninggalkan rumahnya.

Cinta Kelabu (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang