Gadis Berkhimar Hitam

107K 3.2K 30
                                    

Sayup-sayup angin menyapu jalanan kota bungkarno ini, hiruk pikuk kendaraan seolah menjadi ritme bagi setiap mengguna jalan. Dedaunan kering pun terbawa alur embusan angin.

Tatkala embusan angin juga membuat khimar hitam panjang yang dipakai seorang gadis mengalun dengan indah. Derap langkahnya bersaut-sautan dengan para pejalan kaki lainnya.

Bersaman dengan itu, kumandang azan zuhur terdengar berseru di setiap masjid-masjid. Terlihat, gadis berkhimar hitam itu berbelok arah memasuki sebuah halaman masjid besar. Banyak orang yang menghentikan kegiatannya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, sama seperti gadis tadi.

Setalah berkumandang nya ikhamah, sholat berjamaah pun dilaksanakan. Gadis itu begitu khusyu dalam bacaannya. Ada rasa tenang tersendiri ketika seperti ini, dengan sholat kita merasa lebih dekat kepada sang pencipta, lebih leluasa mengadukan segala kegelisahan.

Seperti yang dirasakan gadis itu sekarang. Usai melaksanakan rakaat demi rakaat, ia menadahkan kedua tangannya, mengucap istigfar dan ampun kepada-Nya.

Setelah itu, ia merapihkan mungkena dan menyimpannya kembali ke rak. Sudah tidak ada urusan lagi di sini, gadis itu melanjutkan perjalanannya sebelum senja menyapa.

Beberapa menit menempuh perjalanan, ia bernafas lega serta mengucap syukur karena selamat sampai rumah. Pasti kalian bertanya mengapa tidak menaiki kendaraan umum? Jawabannya simple, gadis itu hanya ingin lebih sehat saja dengan berjalan kaki. Dan yang pasti lebih hemat.

Gadis itu memasuki gerbang besar rumahnya, lalu menyapa para pekerja rumahnya.

"Assalamualaikum." Salamnya seraya menutup kembali pintu besar itu.

"Waalaikumsalam, sudah pulang Ning?" Seorang wanita paruh baya yang memakai celemek berjalan terperonggoh.

"Sudah, Mbok." Lantas gadis itu menyalami wanita yang telah bekerja di rumahnya itu selama lima tahun. Namanya Rami, sering dipanggil mbok oleh anggota keluarga di situ.

"Umi sama Abi, kemana?" Tanya Gadis itu dengan sopan. Walaupun Si mbok Rami pembantu rumah tangga, ia tetap menghormati si mbok yang lebih tua darinya.

"Ada acara walimah ke teman lama tuan katanya." Gadis itu hanya mangut-mangut, ia berjalan ke meja makan diikuti Mbok Rami di belakangnya.

"Ning, makan ya. Si Mbok sudah siapkan rawon."

"Wah, makasih Mbok. Ayo kita makan bareng." Tak heran jika gadis itu berkata demikian, mbok Rami sudah seperti dianggap sodara sendiri. Keluarga gadis itu pun sering mengjak makan bersama.

"Nggak usah, Ning. Si Mbok sudah makan tadi."

"Oh, yasudah. Aku makan sendiri saja," tuturnya seraya menumpahkan secentong nasi. Dengan membaca doa terlebih dahulu, Ia memulai kegiatan makannya. Sementara mbok Rami menatap dengan senyuman kepada anak majikannya itu, mbok Rami sangat bersyukur bisa bertemu keluarga ini. Mereka terlalu baik kepadanya, semoga gusti Allah memberi keberkahan kepada anggota keluarga ini-Batinnya.

🍃🍃🍃🍃

Senja telah lenyap oleh sang malam, singgahsana sang surya pun digantikan oleh Rembulan. Parade bintang yang gemerlap pun ikut menghiasi langit malam.

Lantunan ayat suci yang dikumandangkan dari bibir seorang gadis telah berakhir dibarengi oleh waktu Isya yang datang. Gadis itu berdiri dan mengucap niat untuk menunaikan sembahyang.

Waktu seiring berjalan, tak butuh lama untuk menyelesaikan kewajibanya. Gadis itu membereskan alat sholatnya dan menyimpan mushaf al-quran ketempatnya. Kemudian melangkah keluar kamar.

"Syahira, sini nak," panggil seorang wanita berhijab lebar dengan wajah yang tampak kerutan di bagian matanya. Gadis itu tersenyum, dan ikut duduk di sebelah wanita yang ia sebut-Umi.

"Sudah sholat Isya?"

"Sudah, Mi."

Tak lama seorang pria berjenggot tipis, serta kopiah hitam yang tak pernah tertinggal di kepalanya datang. Ikut duduk bersama keduanya.

"Syahira, Abi mau nanya." Suara beritonnya membuat kedua wanita itu menoleh.

"Tanya apa, Bi," sahut gadis itu.

"Kamu mau tidak ngajar di pesantren? Kebetulan teman Abi pemilik pesantren itu." Mata gadis kecilnya itu bersinar, ia mengangguk cepat. Ini adalah impiannya, impian untuk berbagi ilmu yang telah ia kenyam di Khairo, Mesir.

"Mau banget, Bi!"

"Yasudah nanti Abi tanya kapan mulai ngajarnya. Dan yang pasti buatlah ilmu yang kamu punya menjadi bermanfaat untuk orang lain, bukan begitu?"

"Iya, Bi. Itu yang sejak lama Syahira impikan." Kedua orang tuanya itu mengelum senyum. Mereka tak menyangka, gadis yang dulu tertatih-tatih dalam mendapatkan ilmu. Kini sudah bisa bermanfaat bagi orang lain.

Syahira Syaidatul Ali, putri satu-satunya Kiyai Ali. Walaupun terlahir di keluarga terpandang, tak membuat gadis itu berbaga diri. Gadis berdarah biru itu selalu saja berpenampilan tertutup dan sederhana, dan murah senyum tentunya.

Tentunya menurut kalian hidup Syahira sangat sempurna bukan? Tapi Gadis itu tak ingin orang beranggapan seperti demikian, karena sesungguhnya harta yang kini ada hanya titipan. Dan paras ini ujian baginya, ya ujian untuk menghadapi segala fitnah dunia.

Ia hanya gadis akhir jaman yang memilik tujuan sama seperti muslimah lain, yaitu meraih surga-Nya.

🍃🍃🍃🍃

Cahaya Fajar mulai menampak di ufuk timur, para umat manusia mulai berkutat dengan kegiatannya selepas sholat subuh tadi. Seperti halnya, Syahira yang bersiap-siap pergi ke pesantren, mengajar. Ia begitu senang, setelah Ali memberi tahu kalo sekarang ia boleh langsung mengajar di pesantren itu.

Khimar panjang yang menjuntai selalu membaluti mahkotanya. Tidak ada polesan di wajah, setiap harinya gadis itu hanya memakai celak mata bedak tabur tipis bahkan terlihat tak memakai badak.

Kaki dengan balutan kaus kaki berwarna krem itu memijaki anak tangga dengan hati-hati.

"Mau Abi antar tidak?" Sebuah senyuman terbit di wajah Ayu Syahira ketika mendengar pertanyaan Ali.

"Nggak usah, Bi. Nanti Abi telat lagi ngehadirin acara tausiyah nya. Biar Syahira naik, angkutan kota saja."

"Kamu ini, sifat sederhananya tak pernah luntur." Sebuah usapan halus mendarat di khimar Syahira.

"Iya sama kaya Uminya." sergah Khodijah seraya menghampiri mereka.

"Iya percaya deh." ujar Ali seraya mencuil hidung Khodijah. Lihatlah, mereka tampak romantis bukan? Hidup berumah tangga selama beberapa tahun tak membuat rasa sayang di antara keduanya luntur.

"Eh malah senyam senyum, kapan berangkat? Nanti telat loh." Khodijah menoleh ke arah anak gadis nya itu yang sendari mengembangkan senyuman lebar melihat kelakukan kedua orang tuanya.

"Ah, iya. Syahira pamit kalo gitu, Bi, Mi." Syahira mencium masing-masing tangan keduanya dengan takzim.

"Mbok, Syahira pamit." Tak lupa gadis itu mencium tangan mbok Rami dengan takzim.

"Asalamualaimum."

"Waalaikumsalam," sahut mereka secara bersamaan.

Bersama langkahnya keluar dari rumah ini doa dari sang Umi selalu tercurah, harapan yang terbaik selalu terucap di lubak hati sang Abi.

Dengan senyuman terukir jelas, Syahira menaiki angkutan kota yang berhenti di depannya. Sekilas ia menatap langit pagi ini, sangat cerah tak ada awan hitam yang mengganggu.

Semoga saja tak ada masalah hadir di saat kebahagian ini datang. Insyaallah ...

Jangan lupa tersenyum :)

Ning & GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang