Satu bulan mengarungi kehidupan di dalam bahtera rumah tangga memanglah sangat tak terasa bagi Syahira. Hidupnya berasa lebih tertuju dengan adanya Faiz sebagai sosok kepala keluarga yang bertanggung jawab. Curahan kasih sayang senantiasa mengalir di setiap waktu, seolah tidak ada luka yang berani hinggap. Namun, prihal ujian, luka, serta segala kenestapaan, pastilah hanya si penulis takdir lah yang mengetahuinya.
Sebagai seorang istri Syahira sudah sewajibnya melayani sang suami dengan begitu baik yang berharap ada ridho ilhai di dalamnya. Seperti yang di lakukan Syahira setiap harinya ini, yaitu membuatkan makanan siang lalu di hantarkan ke pesantren tempat Faiz mengais rezeki.
Faiz sekarang telah resmi menjadi pengasuh pesantren Al-Husna semenjak abuya Ilham pulang dari umrahnya kala itu. Selain menjalani hari-hari di pesantren, Faiz pun sering kali menerima tawaran untuk mengisi sebuah acara keagamaan dengan bertausiyah. Apapun yang di lakukan Faiz, semua tak lebih untuk menafkahi Syahira.
Setelah selesai menyusun makanan di dalam wadah, Syahira lantas memakai kerudungnya dan kemudian bersiap menuju pesantren. Karena jarak rumahnya tak jauh dari lokasi pesantren jadinya Syahira memilih berjalan kaki saja seraya menikmati keramaian kota bungkarno ini.
Embusan angin menyapa Syahira di gerbang pesantren, para santriwati yang berlalu lalang berbondong-bondong menyalami gadis itu. Terlihat begitu terjaganya tatakrama di sini.
Langkah Syahira kemudian membawanya ke ruangan ndalem, yang kini mulai di tempati Faiz sebagai pengasuh pesantren ini. Namun, di tengah jalan kaki Syahira tiba-tiba terpaku. Objek di depannya membuat ada sedikit rasa sesak, serta timbulnya percikan-percikan emosi sekilas.
Genggaman tangan pada wadah makanan yang di bawanya kian mengerat seolah menyalurkan segala kesabaran, hati terus beristigfar walau sulit.
Siapa wanita itu?
Hanya satu pertanyaan namun berdampak tidak baik bila terus terpendam.
Di depan, sekitar berjarak dua meter dari berdirinya Syahira sekarang terlihat jelas Faiz sedang asik membicarakan sesuatu bersama seorang wanita yang asing bagi Syahira. Tak pernah ada peraturan yang membenarkan seorang laki-laki dan wanita yang bukan mahram berinteraksi sejauh ini di pesantren ini.
Cukup. Syahira tak ingin hal kecil ini menjadi sebuah masalah yang besar, semua ini hanya kesalahpahaman. Tak ada yang perlu dicemburui.
Gadis itu memilih mengambil arah lain untuk ke ruangan ndalem, ia tidak ingin berlalut dalam berperasangka buruk. Sampai di sana Syahira lantas meletakan wadah makanan, lalu meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, menit berikutnya Faiz memasuki ruangan ndalem. Keningnya berkerut ketika melihat wadah makanan di atas meja, namun detik berikutnya Faiz tersenyum. Lelaki itu tahu siapa pengirim makanan ini, siapa lagi kalau bukan Syahira--istrinya.
"Kenapa dia tidak menemuiku ya?" Tanya Faiz pada dirinya sendiri dengan bergumam. Ini bukan seperti kebiasaan Syahira setiap harinya.
"Ah, mungkin ada urusan mendadak." Tak mau berlama berfikir, akhirnya Faiz memilih membuka wadah itu. Aroma makanan khas langsung menelusuk hidung. Usai membaca doa, lelaki itu lantas melahapnya penuh nikmat.
🍃🍃🍃🍃
Sinar jingga mulai menghiasi cakrawala, namun sepertinya cahayanya tak secerah dari biasanya. Awan abu-abu kian berdatangan ingin menggeser posisi sang senja di langit. Sepertinya kota Blitar akan bersedih kembali malam ini.
Mata hazel Syahira menatap bebas pergulatan langit kala itu. Sepulang dari pesantren beberapa jam yang lalu, gadis itu menjadi lebih sering diam dan terus beristigfar dalam hati. Sejujurnya Syahira tak ingin setan memperdaya pikiran serta hatinya untuk menyulut apa cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ning & Gus
RomanceDi dalam mencintai harus ada ke ikhlasan tentunya. Entah itu ikhlas dalam menerima kenyataan yang tak sesuai harapan ataupun ikhlas membiarkan yang di cintai melabuhkan hatinya pada yang lain. Seperti halnya gadis jawa yang lemah lembut ini, ia haru...