Kabar lamaran itu kian berhembus di area pesantren, banyak tanggapan atas keputusan yang mendadak tersebut. Ada yang menyambutnya bahagia ada pula yang merasakan hatinya telah rapuh oleh harapan yang terlalu tinggi pada sang Gus.
Berbeda dengan gadis berkerudung biru laut yang kini tengah menikmati angin dari balik sela-sela jendela perpustakaan pondok, gadis itu merasakan kebingungan untuk melangkah pada kenyataan lagi.
Syahira mencoba ikhlas pada siratan takdir ini, namun hatinya seolah perlu waktu berdamai dengan kata itu. Yang paling terpenting gadis itu masih mempunyai sang maha cinta untuk mengadukan segala luka dan meminta bantuannya melupakan rasa yang salah ini.
Ya rabb aku percaya akan ketentuanmu, aku masih berlayar untuk mencari pelabuhan terakhir yang telah engkau persiapkan. Bantu aku Allah, untuk melupakannya. Aku tak menginginkan hati ini untuk melabuh padanya, semua muncul secara tiba-tiba maka aku ingin rasa yang seharusnya tidak hadir ini cepat terhapus sebelum tercipta luka semakin dalam.
Aku satu di antara makhluk ciptaanmu yang memiliki rasa itu, rasa yang seharusnya kuberikan pada sosok pilihanmu. Diriku bersalah karena telah mencoba meraih cahaya dalam kegelapan malam tanpa melihat bahwa itu jalan yang seharusnya tak kujejaki, sehingga kini kuterjebak dalam kerumitan dosa.
-di bawah langit teduh, Blitar.
Mata hazelnya menengadah agar tidak jatuhnya butiran kristal, tidak seharusnya Syahira menangisi cinta yang salah ini. Biarkan air matanya jatuh untuk kebahagaian saja.
Kesadaran Syahira terpecah ketika telinganya menangkap suara isak tangis di sekitarnya, gadis itu melirik kanan dan kirinya namun tak ada siapapun. Suara isak tangis itu semakin menajam, tiba-tiba saja perasaan Syahira tidak enak.
Dengan segera gadis itu menoleh ke belakang, dan benar saja di sana ada seorang santriwati yang sedang menangis di dalam lengannya yang di tumpuk ke meja. Tanpa berpikir lagi, Syahira berpindah tempat. Ia duduk di samping santriwati itu.
"Assalamualaikum," salamnya. Dan hal itu mempu santriwati tersebut mendongkakan wajahnya seraya menghapus cepat air matanya. Betapa kagetnya Syahira ketika melihat siapa santriwati tersebut, ternyata dia santriwati yang dulu sempat ia temui sedang berdebat dengan Faiz.
"Waalaikumsalam, Ustadzah. Heum, ana ..." tampak gadis yang umurnya tak jauh dari Syahira tersebut terlihat ketakutan.
"Kenapa kamu menangis? Rindu orang tua?" Tanya Syahira secara baik-baik.
"Bukan."
"Trus? Ceritalah, siapa tahu saya bisa memberikan solusinya." Syahira memposisikan dirinya menghadap santriwati tersebut, "oh iya, nama kamu siapa? Supaya lebih enak manggilnya."
"Hafifah."
"Oke, Hafifah. Kamu gak usah terlalu formal dengan saya, kamu bisa cerita dengan saya jika ada masalah."
Gadis bernama Hafifah itu menatap Syahira sekilas lalu menunduk kembali, "saya malu Ustadzah untuk cerita ini."
"Kenapa malu?"
"Ini soal perasaan saya." cicit gadis itu yang membuat Syahira mengelum senyum.
"Gak apa-apa ceritakan saja, kita juga umurnya tak jauh beda. Insyaallah, saya bisa memahaminya."
"Baiklah. Jadi gini, sebenarnya saya mencintai Gus Faiz sejak pertama kali kepesantren ini." Syahira menghela nafas lirih, lagi-lagi tentang Faiz. Bisakah ia tidak mendengar nama itu lagi? Namun, Syahira mencoba mengontrol dirinya untuk mendengar lanjutan cerita Hafifah.
"Ustadzah tahu sendiri kabar itu kan? Gus Faiz akan melamar seseorang. Di situ saya merasa Allah tidak adil, Ustadzah. Saya sudah berdoa di sepertiga malam meminta Gus Faiz menjadi milik saya, tapi tenyata Allah lebih mendengar doa yang lain."
"Astagfirullah, kamu gak seharunya bilang seperti itu. Allah maha adil, dia si penulis takdir yang terbaik. Kamu tahu Allah tidak mengabulkan doamu itu untuk mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik dari Gus Faiz untuk mendapingimu. Allah sayang sama kamu, dia gak mungkin menyakiti hambanya yang ada dia selalu menyimpan sesuatu yang indah untuk membuat hamba tersenyum."
Syahira menjeda sejenak seraya menatap Hafifah yang menyimak dengan kepala menunduk, "kadang kita sebagai manusia tidak mensyukuri hal itu, kita tidak sabaran dalam menanti sesuatu yang indah. Kita lebih menyakini pilihan hati yang belum tentu terbaik, dan menyianyiakan pilihan Allah yang pasti terbaik untuk kita."
"Jadi selama ini saya salah ya? Telah menangisi hal yang sia-sia?"
"Iya."
"Astagfirullah, lalu saya harus apa. Perasaan ini sudah terlanjut mengendalikan otak."
Syahira tersenyum tipis, "selalu lah datang pada Allah untuk mengadukan semuanya, karena dia lah si pemberi motivasi terbaik. Sekarang fokus lah pada impianmu di pesantren ini, pikirkan kembali tujuan datang ke pesantren ini. Jika masalah cinta, kamu cukup diam menanti biarkan lah Allah yang mendatangkan cinta terbaik untukmu."
"Hal yang terpenting ...." Syahira menatap lurus ke depan, "ikhlaskan dia."
"Iya, saya akan berusaha mengikhlaskan dan mulai mendekatkan diri lagi pada sang pencipta." Hafifah mulai menatap Syahira, sedangkan Syahira sendiri masih menatap lurus seolah tengah menahan gejolak hatinya yang sudah mulai mendidih.
"Terima kasih, Ustadzah. Saya senang bisa menceritakan semuanya."
"Berterima kasih lah sama Allah, melaluinya saya bisa menyampaikan hal itu." Syahira akhirnya mengalihkan tatapannya pada Hafifah, "pergilah, bukannya sebentar lagi ada kelas?"
"Euh, iya. Yasudah saya permisi pergi, Asslamaualikum." Hafifah perlahan pergi, menghilang di balik rak-rak buku.
Syahira menatap lurus kembali, ia mencoba mencerna apa yang ia katakan tadi.
Ikhlas?
Apakah dirinya sudah melakukan hal itu? Begitu hebatnya Syahira menasehati orang lain, sampai melupakan keadaan hatinya sendiri. Perkataan yang Syahira tadi ucapkan seolah berbalik arah melawan dirinya.
Karena tak ingin berlama-lama ralut dalam kebingungan dan kesedihan ini, Syahira memilih beranjak dari sana. Gadis itu akan melupakan sejenak pasal semua yang terjadi.
Patah hati seperti ini lah yang memang pantas Syahira dapatkan, karema gadis itu memilih menjadi seperti Fatimah yang menyimpan cintanya itu secara diam dari pada Khodijah yang mengatakannya.
Lagi-lagi Syahira menghembuskan nafasnya secara lirih, ia tak ingin menjadi sosok yang amat paling tersakiti padahal dirinya pun salah dalam hal ini.
Di saat langkahnya menyelusuri koridor, tiba-tiba saja dari jarak lima meter mata Syahira menangkap sosok Faiz yang sepertinya akan mengisi kelas. Syahira tersenyum miris, langkahnya tetap melenggang.
Hingga tatapan Faiz mulai menangkap sosok Syahira, namun gadis itu malah menundukan kepalanya. Ia tak bisa jika harus menatap mata yang penuh akan ketenangan itu, karena hanya akan menyulitkan dirinya untuk melupakan Faiz.
Tanpa ada sapaan ataupun salam di detik mereka berpapasan. Lagi-lagi Syahira tersenyum miris, sama dengan Faiz. Lelaki itu paham akan yang terjadi.
Faiz menghentikan langkahnya, dengan tatapan masih memperhatikan punggung Syahira yang kian menjauh.
Sayap bidadari telah patah karenanya, bulan sabit di bibir ranum itu telah perlahan kian melebur.
Maaf kan aku Syahira ...
🍃🍃🍃🍃
Mohon maaf ada kesalahan penulisan karena manusia tempatnya salah, dan jika berkenan tolong beritahu kesalahan itu agar saya bisa memperbaiki.
Vote ya, agar saya semangat karena ada notif dari cerita ini hehe😁
Jangan lupa bersyukur
Jangan lupa bahagia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ning & Gus
RomanceDi dalam mencintai harus ada ke ikhlasan tentunya. Entah itu ikhlas dalam menerima kenyataan yang tak sesuai harapan ataupun ikhlas membiarkan yang di cintai melabuhkan hatinya pada yang lain. Seperti halnya gadis jawa yang lemah lembut ini, ia haru...