Sebuah Lamaran

29.1K 1.8K 30
                                    

Seruan asma Allah menggema di sepenjuru semesta, pertanda rembulan akan meninggalkan langitnya dan di gantikan oleh sang mentari.

Gelakarnya adzan itu mampu membangunkan para santri yang beberapa jam lalu tertidur pulas, mereka mulai memadati tempat wudhu. Adapun yang sudah bersuci mulai mengambil shaf sholat untuk berjamaah dengan yang lain. Sholat subuh kali ini akan di pimpin langsung oleh seorang ahli waris pemilik pesantren ini, yaitu Faiz. Seorang gus yang sangat di kagumi baik raga ataupun hatinya oleh para kaum hawa.

Ketika seluruh shaf mulai di padati para santri, lelaki itu lantas bersiap memulai sholat dengan takbir. Sayup-sayup pesantren kini lebih tentram, para penghuninya bersama-sama berdialog pada Tuhannya. Walaupun ada beberapa santriwati yang tidak ikut melaksanakan sembahyang, tapi mereka tak pernah menggagu berjalannya sholat berjamaah.

Cakrawala di ufuk timur sudah terlihat cahaya oren yang mulai mewarnai atap semesta, ayam-ayam jantan berkokok ikut berseru dalam penyatuan kenikmatan Tuhan pada pagi itu.

Dua rakaat telah dilaksanakan, setelah bertasbih bersama dan berdoa para santri perlahan mulai meninggalkan area masjid. Mereka kembali para aktivitas paginya, entah itu mencuci pakaian, mandi, ataupun membuat sarapan. Tapi tidak dengan Faiz yang masih duduk bersila di hadapan Ilham, mereka sepertinya akan membicarakan hal penting terlihat dari sorot mata Ilham yang menatap Faiz.

"Apakah Abah akan membicarakan sesuatu?" Tanya Faiz memecah keheningan.

Ilham tersenyum di balik wajah keriputnya, "kamu sudah besar, Nak. Sudah tahu mana yang baik dan yang buruk. Abah hanya ingin menjalankan tugas Abah yang terakhir sebagai orang tua, Nak."

"Maksud, Abah?"

"Menikahlah." Ilham tersenyum kembali kali ini lebih lebar, "Abah dan Umah sudah menemukan sosok pendamping untukmu, Abah yakin jika kalian akan membina bahtera rumah tangga dengan baik. Lamarlah dia, Nak."

Kini senyuman Faiz terukir, "jika pilihan Abah dan Umah memang terbaik, Faiz akan lakukan itu. Semoga gadis itu dapat Faiz bawa kepada surga-Nya."

"Amin." Tangan keriput Ilham menepuk-nepuk bahu putranya itu, "seminggu lagi kita akan mendatangi rumahnya, karena itu sudah keputusan gadis itu."

"Iya, Abah."

Sekali lagi Faiz tersenyum, entah hatinya benar atau tidak tapi ia merasakan kalau sosok gadis pilihan Abah dan Umah adalah sosok yang selama ini ia sebut namanya dalam sepertiga malam. Semoga saja hatinya  tak membohongi Faiz.

🍃🍃🍃🍃

Hari ini Syahira absen terlebih dahulu dari aktivitas mengajarnya, itu semua atas perintah kedua orang tuanya yang ingin gadis itu mengistirahatkan tubuhnya.

Kejadian kemarin membuat Khodijad semakin mewanti-wanti putrinya itu untuk tidak pernah melewatkan pemeriksaan. Syahira sangat bersyukur masih ada yang peduli padanya, ia bertahan karena keluarganya, ia bertahan atas perintah sang Khalik. Jika takdir sudah memutuskan untuknya meninggalkan semesta ini, Syahira ikhlas.

Namun nyatanya sekarang, takdir masih menginginkannya untuk menemani dan membanggakan Khodijah dan Ali di dunia yang fana ini.

"Ning, Mbok bikinin madu hangat nih. Siapa tahu dapat merilekskan kepala." Syahira sendari tadi bermurojaah lantas menoleh ketika suara Mbok Rami mengintruksi.

"Makasih ya, Mbok." Segelas madu hangat di letakan begitu saja. "Umi dan Abi sudah berangkat, Mbok?"

"Sudah, Ning."

"Oh yasudah Mbok boleh kembali ke bawah."

Mbok Rami pun melenggang pergi seraya menutup kembali pintu kamar anak majikannya itu.

Gadis itupun meraih gelas tadi, lalu menyesap dengan perlahan, menikmati setiap kehangatan yang ada pada minuman itu. Rasa sakit yang terus berdenyut pun kian memberikan kedamaian bagi Syahira.

Syahira gadis yang kuat, kalian percaya itu. Ujian ini akan semakin mengasah Syahira dalam bersabar dan tabah, Allah tahu kemampuan hambanya dalam menghadapi ujian itu.

Sakit yang menggeroti tak pernah menghilangkan bulan sabit yang terukir dalam bibirnya, mungkin bisa dibilang Syahira adalah pembohong yang hebat.

"Maaf Ning, ada teman Ning Syahira di bawah."

Suara Mbok Rami lagi-lagi mengintruksi Syahira menoleh, gadis itu menyesap madunya terlebih dahulu sebelum menyahut, "iya nanti Syahira akan ke sana."

Mbok Rami mengangguk seraya belenggang pergi. Sementara Syahira memasang krudung instannya di kepala, lalu melangkah keluar kamar untuk menemui seseorang itu.

Syahira tersenyum ketika matanya menangkap sosok gadis berkhimar tengah duduk di ruang tamu. Dia Resa.

Segera ia ikut duduk di sana seraya menyapa, "hai, Res."

"Eh, hai."

"Kamu kok ke sini gak ngabarin dulu."

Resa tersenyum, ada tampak raut bahagia yang sangat besar. "Biar jadi kejutan. Oh iya, bagaimana keadaanmu? Kata Umah Fatmah kamu sakit iya?"

"Alhamdulillah, Allah masih sayang sama aku," jawab Syahira.

"Aku kesepian tahu kamu gak ngajar." Dengan bibirnya yang mengerucut Resa berujar demikian. Hal itu membuat Syahira terkekeh ringan. "Ada juga kamu tuh yang kemarin lusa gak ada kabar," sahut Syahira tak mau kalah.

"Hehe maaf lah. Aku ada acara keluarga."

Syahira hanya memangut, dan secara bersamaan mbok Rami datang dengan dua gelas sirup."makasih, Mbok." Kata Resa seraya meraih gelas itu lalu menenggaknya.

"Haus ya, Mbak?"

"Iya nih." Derik berikutnya mereka berdua tertawa ringan.

"Kok kayanya kamu seneng banget sih, Res. Cerita dong," pinta Syahira, yang merasa sahabatnya itu begitu berseri-seri.

"Heum itu, satu minggu lagi aku mau di lamar."

Mata Syahira terbelalak, "wah, pantas saja auranya beda." Diakhiri kekehan ringan. "Siapa calonnya?"

Kini suasana menjadi hening. Jatung Syahira entah kenapa merasakan hal yanh tidak enak, mungkin karena penasaran dan ikut merasakan bahagia yang Resa rasakan.

"Gus Faiz!"

Detak jantung Syahira perlahan melambat, badannya tiba-tiba kaku dan berasa ada tombak yang menyerang hatinya tanpa ampun. Ada apa yang terjadi pada dirinya?

Ini kah jawaban doa-doa itu? Jika memang benar, haruskah secepat ini hati Syahira merasakan patah untuk pertama kalinya? Demi seorang sahabat?

Syahira menghembuskan nafas lirih untuk menetralisirkan raut wajahnya, ia seharusnya senang tidak boleh ada benci karena sebuah cinta yang salah ini.

"Alhamdulillah, selamat ya. Aku ikut seneng." Dengan keadaan hati yang rapuh secara tiba-tiba ini Syahira masih menyempatkan untuk memberika senyuman lebar, ia tak ingin karena perasaannya ini kebahagian Resa akan hancur.

Mungkin ada satu nama lagi yang telah di persiapkan untuk Syahira dari si maha cinta, tapi untuk sekarang hati Syahira perlu berdamai dengan keadaan dan kenyataan yang memang tak bisa di elakan.

Syahira percayakan hatinya untuk berdamai akan kata ikhlas.

🍃🍃🍃🍃

Pendek ya? Maaf aja ya.

Buang yang buruknya ya.
Jangan lupa bersyukur.

Salam|@Aniaputrisy.

Ning & GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang