Dia dan Dia

36.3K 2.4K 19
                                    

Sudah satu minggu Syahira menjadi pengajar di pesanteren itu, ia menikmati pekerjaan barunya. Dan kini adalah hari libur untuk dirinya, kalo boleh jujur gadis itu lebih memilih mengajar saja dari pada dirumah tak ada kerjaan. Tapi, yasudahlah mungkin ini waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan otak.

Gadis itu tengah membaca di ruang perpustakaan pribadinya, tentunya di temani segelas madu hangat. Semua pekerjaan sudah di bereskan, dibantu Khadijah dan juga mbok Rami tentunya. Beginilah hari libur Syahira, jika tidak mengikuti kajian bersama Khadijah dia akan menghabiskan waktunya dengan membaca buku ataupun al-quran. Jika ditanya bosan atau tidak? Tentu saja tidak, ini seolah telah menjadi kebiasaannya. Bahkan dari kecil.

Ting nong ... ting nong

Kegiatan membacanya terhenti oleh suara bel rumahnya. Gadis itu bangkit dari duduk, lalu berjalan membukakan pintu utama.

Betapa kagetnya Syahira ketika mendapati sosok yang selalu hadir dalam mimpinya itu, ia segera mengalihkan pandangannya pada seorang wanita berkhimar lebar yaitu Khodijah dengan tas belanjaannya. Memang tadi wanita itu pergi ke pasar tanpa mbok Rami, karena pembantu rumah tangganya itu mendapat kabar sodaranya meninggal sehingga harus pulang cepat. Dan Khodijah tak mengijinkan Syahira untuk ikut ke pasar.

"Assalamualaikum, Umi." Syahira mencium punggung tangan sang Ibunda. Kemudian sedikit melirik kepada sosok tegap yang ada di samping Khodijah. Karena menyadari raut bingung putrinya itu, Khodijah lantas mengintruksikan untuk duduk di shofa ruang tamu.

"Kamu sudah kenal dia, Syahira?" Tanya lembut Khodijah memulai pembicaraan. Gadis itu mengangguk, dengan tatapan masih tertunduk.

"Faiz nolongin Umi di jalan, tadi Umi hampir pingsan. Untung saja ada dia." Mendengar penjelasan itu, Syahiran lantas mendelik kegat.

"Umi sakit? Tadi harusnya Syahira yang ke pasar," tuturnya dengan penuh penyesalan.

"Umi cuma capek saja. Kamu tolong buatkan Faiz minum, gih." Gadis itu mengangguk, ia beranjak namun suara itu menghentikan nya. "Tak usah, Umi. Faiz tak bisa lama di sini, ada urusan di pesanteren yang harus di tangani."

"Ah, yasudah. Titip salam buat Abah dan Umahmu ya." Faiz tersenyum dan mengangguk.

"Faiz permisi dulu, Umi ... Syahira." Telinga gadis itu seolah hangat oleh suara Faiz yang menyebut namanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lelaki itu berlalu, menyisakan perasaan aneh pada diri seorang Syahira. Dan juga desiran hebat di hatinya. Gadis itu menunduk dan beristigfar, agar tidak terlalu kalut dalam perasaan yang seharusnya hanya untuk suaminya kelak.

"Umi harap, Allah memberimu imam yang baik seperti dia," cetus Khodijah yang begitu saja keluar dari bibirnya. Sementara itu, Syahira secara tidak langsung mengaminkan ucapan Uminya itu.

🍃🍃🍃🍃

Suara gemericik dari tetesan air di langit sangat mendominasi sekarang. Sepertinya sang langit tengah bersedih, namun gadis itu tak tahu apa yang menyebabkan langit tiba-tiba menumpahkan hujannya.

Tangan dengan di baluti handscok biru langit itu terulur, membiarkan air hujan jatuh di jemarinya yang lentik. Hujan itu baginya bukan kenangan, bukan pula yang menyebabkan rindu. Tapi hujan ialah salah satu kenikmatan Allah untuk manusia di bumi. Betul bukan?

Kemudian tangan itu ditarik kembali olehnya seraya melirik jam tangan yang melingkar. Sudah hampir setengah jam ia menunggu hujan reda. Ya, kini Syahira sedang ada di sebuah masjid. Tadinya izin kepada Uminya untuk pulang cepat, setelah bertemu teman-teman kajiannya. Namun turunnya hujan membuat gadis itu berteduh lama di masjid ini, sampai sholat zuhur ia melaksanakannya di sini. Ia kira tak hujan tak akan lama membasahi bumi.

Ning & GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang