Rintih Di Bawah Hujan

20.9K 1.4K 33
                                    

Waktu kian berjalan begitu cepat, semesta semakin menguji dan luka semakin ingin mendominasi. Tembok kesabaran Syahira seakan retak seiring pukulan demi pukulan ia rasakan ketika melihat kedekatan itu.

Bisakah Syahira egois sekarang? Faiz miliknya, dan takdir sudah mengesahkan hal itu. Tapi di sisi lain, hati kecil Syahira melarang untuk egois. Entah kenapa akal dan hatinya sekarang tidak sinkron kembali. Syhaira benci itu!

Setiap dirinya ke pesantren, di sana lah matanya selalu menangkap sebuah kedekataan sepasang sahabat itu. Luka menyayatnya secara perlahan, bahagia berada di ambang batasnya.

Syahira tak ingin menghancurkan persabahatan mereka, namun ia juga tidak ingin hatinya perlahan hancur melihat seseorang yang di cintai bahagia karena wanita lain.

Embusan nafas lirih terdengar, gadis itu melanjutkan langkahnya ke arah di mana Faiz sedang mengajari Sella di taman asrama. Raut wajahnya kembali normal, namun mata sayunya sangat menyirakan keluakaan yang di rasakannya.

"Assalamualaikum." Salam Syahira membuat Faiz dan Sella menoleh bersama.

"Waalaikumsalam." Faiz bangkit daro duduknya, seraya mengulurkan tangan dan kemudain Syahida mencium penuh takzim. "Katanya Adek gak akan ke sini."

"Acara kajiannya di undur. Ayo kita makan, Mas." Syahira mendongkakkan kepala untuk melihat wajah Faiz.

"Heum ... maaf, Dek. Mas kira kamu gak akan ke sini, jadi tadi Mas sudah makan bareng Sella dan para santri di dapur pondok." Raut Syahira yang awalnya cerita kembali muram, bibirnya terkatup rapat. "Tapi kalau Adek mau makan, ayo Mas temeni." Tangan Faiz perlahan meraih jemari Syahira.

Dengan sempontan Syahira melepas genggaman Faiz, "gak perlu, Mas. Adek bisa makan di rumah. Mas lanjutkan saja mengajari Sellanya."

"Kamu marah, Dek?" Tanya Faiz dengan tidak enak hati, jemarinya menangkup pipi Syahira.

"Nggak, Mas. Mas lanjutkan saja ya, Adek pamit pulang dulu. Assalamualaikum." Pamitnya, kemudian menyalami Faiz kembali. Lalu melenggang pergi.

"Waalakiumsalam."

Langkah Syahira bagai tak berpijak, batas kesabarannya haruslah di perbanyak lagi. Untuk pertama kalinya makanan yang Syahira bawa akan sia-sia.

Allahu rabbi, berikan kesabaran lebih untuk hamba. Jadikanlah hati ini sekuat Maryam, setabah Siti Hajar, dan seikhlas Siti Khodijah.

🍃🍃🍃🍃

Sore hari di kota Bungkarno langit begitu muram, tak ada sinar jingga yang menghiasi. Awan-awan hitam bergerumul memenuhi cakrawala, embusan angin pun ikut menyapu debu-debu jalanan.

Syahira menutupi wajahnya dengan kain kerudung ketika debu menerpa wajah. Gadis itu segera memasuki rumah dengan pakaian yang tadi di ambil dari jemuran.

Raut wajahnya sangat khawatir karena Faiz tak kunjung pulang, biasanya sebelum azan asar suaminya itu sudah tiba di rumah. Namun, kali ini tidak. Hanya untuk kabar pun Faiz tak mengirim. Sedangkan langit sudah ingin menumpahkan hujannya.

Syahira menggigit bibirnya kuat, kakinya sendari tadi tak mau diam karena saking khawatirnya. Walaupun tadi sempat terluka karena sikap Faiz yang tak di sengaja itu, tapi sebagai seorang istri Syahira sangat takut terjadi apa-apa terhadap suaminya itu.

Hingga pikiran gila tiba-tiba saja merasukinya, gadis itu menyimpan pakaian tadi lalu menenteng payung. Syahira akan ke pesantren untuk sekedar memastikan. Sendari tadi Syahira menghubungi Aisyah ataupun Umah Fatma tetap saja tidak ada jawaban. Jadilah sekarang, Syahira berjalan begitu cepat ke arah pesantren.

Baju gamis dan kerudung syarinya berkibar mengikuti alur angin yang kian berembus, dedaunan berjatuhan dan langit semakin pekat. Syahira terus berdoa agar hujan tidak turun terlebih dahulu sebelum ia sampai. Mungkin ini ide yang sangat gila.

Menit berikutnya, hujan benar-benar membasahi bumi. Doanya tak terkabul. Untung saja Syahira membawa payung jadi tidak telalu basa baju yang ia kenakan sekarang. 

Langkah cepatnya tiba-tiba terhenti. Terpaku pada tanah. Kilat yang mewarnai cakrawala menyambar secara bersamaan ke rulung hati Syahira. Hujan semakin deras, hawa dingin yang tercipta seolah enyah oleh api amarah. Setan sepertinya telah mengalahkan ke sabaran Syahira.

"Mas ... Faiz," lirihnya di sela-sela derasnya hujan. Air mata lolos begitu saja, sehingga bercampur dengan hujan kala itu.

Bagai beribu-ribu tombak menancap di hati Syahira yang baru saja sembuh dari luka, ketika melihat sosok pria yang sendari tadi ia khawatirkan sekarang malah sedang merangkul seorang wanita. Sella, dialah wanita itu.

Batas kesabaran Syahira sudah tak ada ujung lagi, gadis itu melangkah cepat ke arah keduanya, sampai-sampai payung yang di gunakan kini terbawa angin. Syahira tak peduli bajunya akan basah, ia hanya ingin menyelamatkan haknya sebagai istri untuk bersikap egois terhadap cintanya.

"Mas Faiz!" Panggil Syahira dengan tegas. Bahkan kini gadis itu melupakan salamnya.

Faiz yang sedang memopong tubuh Sella dengan rangkulan lantas menoleh cepat. Dia tampak kaget. "Adek? Kenapa ada di sini?"

Syahira tak menjawab, malah gadis itu memandang dengan senyuman miring. Tertawa ringan, seolah sedang menertawakan dirinya sendiri karena sangat mengkhawatirkan Faiz, sedangkan Faiz sendiri tengah asik bersama wanita bernama Sella itu.

"Adek, jangan mikir yang enggak-enggak ya. Ini Sella, dia ..."

"Diam!" Pekik Syahira, akhirnya. Gadis itu melihat ke arah Sella yang sekarang seperti orang tak waras.

"Hai Syahira! Kamu pasti cemburu kan melihat suamimu bersamaku? Ya tentu dong, haha. Kamu harus ingat ini, kalau Faiz sebenarnya hanya mencintaiku bukan kamu! Jadi, jangan terlalu berharap deh!"

Plak!

Tamparan itu akhirnya mengenai pipi mulus Sella. Dengan nafas tersengal, Syahira melakukan di luar batas emosinya itu. Namun, Sella malah tertawa lepas.

"Syahira! Apa yang kamu lakukan?! Istigfar! Sella itu sedang dalam keadaan mabuk, dia kabur dari pesantren dan Mas akan membawanya kembali ke pesantren," jelas Faiz dengan nada membentak. Untuk pertama kalinya, pertama dalam hidupnya Syahira di bentak seperti ini.

"Pulanglah! Mas mau membawa Sella ke pesantren dahulu," Tegas Faiz, "assalamualaikum." Kemudian keduanya pergi, berlalu dari hadapan Syahira.

"Wa-alaikumsalam," lirihnya.

Motor yang di kendarai Faiz perlahan menghilang di baik derasnya hujan. Dan tangis Syahira pun kian pecah, bahkan ada rasa sesak di sana.

Ini kah balasan dari kekehawatirannya? Sebuah luka lagi?

Syahira tahu dirinya salah, ia telah terlanjut tersulut emosi sampai-sampai tangannya ini melukai saudara semuslim yang sedang dalam pengaruh maksiat.

Tapi apakah Faiz harus membentaknya seperti itu? Apa tidak boleh Syahira egois atas rasa cintanya?

Dan kini Faiz lebih memilih wanita lain, sehingga lupa akan sosok gadis yang ia lamar waktu lalu dengan penuh bangganya. Setan sama-sama tengah memisahkan kedua anak adam dan hawa, dengan adanya luka tersebut.

"Aaaaa!!! Aku memang bodoh!" Pekik Syahira lagi dengan nafas tersengal, rasa sesak menjalar kembali. Tangisannya melebur dengan hujan.

Hujan sore kali ini menjadi hujan terburuk yang di rasakan Syahira. Jika dia tak menyusul Faiz ke pesantren, mungkin tak akan begini jadinya, tak akan ada tontonan luka. Namun, selagi lagi waktu tengah mempermainkan takdir dan semesta tak mampu ikut mendamaikan.

Semua luka mengalir bersamaan dengan derasnya hujan kota Blitar.

🍃🍃🍃🍃

Ko gini😣

Vote dan komentarnya dong untuk bab ini:)
Maaf loh update sekarang agak lama di karenakan aku sedang menjalani berbagai macam ujian sekolah😥 doakan ya semoga lancar jaya melewatinya.

"Aku tak pernah sekalipun menyesali diamku, tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku."
[Umar bin Khattab]

Ning & GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang