"Felix! Lo dimana?!" Teriak Jisung dengan panik.
Sebenarnya dia takut, karena disana banyak sekali pasang mata yang menatapnya. Ada yang terlihat ingin mengganggunya, ada yang hanya sekedar menatapnya, dan ada juga yang ingin masuk ke dalam tubuhnya.
Tapi Jisung tak peduli, dia harus menemukan Felix sebelum terjadi sesuatu terhadap sahabatnya yang satu itu.
"Felix! Ini gue Jisung, lo dimana?!" Teriaknya lagi, namun tak ada jawaban dari Felix.
"Jisung!" Panggil seseorang dari arah depan.
Jisung yang melihat Woojin datang sambil berlari menghampirinya langsung memasang posisi waspada.
"Mana Felix?" Tanya Jisung dengan tatapan tajamnya.
Woojin dengan nafas tersengal-sengal menunjuk-nunjuk arah di belakangnya dengan tidak jelas.
"Felix lagi ribut sama orang yang mirip gue!"
"Hah?!"
"Tadi pas gue masuk sama Felix, ada yang ngebekap gue dan bawa gue pergi. Gue dibawa ke suatu ruangan dan dikunci disana. Yang jelas, orang itu mirip gue!" Woojin berkata dengan panik sambil mengatur nafasnya.
"H-hah?"
Jisung kenapa mendadak jadi tukang keong begini ya.
"Jadi, maksud lo Felix dibawa sama Kak Woojin palsu gitu?!"
Woojin mengangguk.
"Tapi gue gak percaya."
Woojin mengerang pelan dengan kesal. "Kalo begini ceritanya mending gue langsung nolong Felix daripada manggil lo dulu," katanya.
"Nah, kenapa lo gak langsung nolong Felix? Kenapa harus manggil gue dulu?" Tanya Jisung dengan mata memicing curiga.
Woojin mengerang lagi, kali ini dia benar-benar kesal. "Kan lo temennya, gimana sih!" Bentaknya kesal.
"Gue yakin ada alasan tertentu lo nyari gue."
Woojin menghela nafas dan mengangguk pasrah. "Iya, ada alasan kenapa gue nyari lo."
"Apa?"
"Gue takut."
Menganga, itu yang Jisung lakukan. Woojin yang memiliki badan kekar dan lebih besar darinya ternyata penakut juga?
Wah, sungguh diluar dugaan.
"Gue gak bohong, gue takut! Orang yang mirip gue itu bawa pisau! Gimana gue gak takut?!"
"P-pisau?" Jisung terkejut.
Tanpa aba-aba, dia langsung berlari meninggalkan Woojin yang berseru panik melarangnya pergi.
Masa bodo dengan nyawanya, Felix harus selamat. Dia tidak mau ada korban lain, dia tidak mau ada meninggal hanya karena membantunya.
Kepalanya bergerak mencari dimana Felix berada, sampai akhirnya dia melihat sebuah pintu ruangan yang terbuka lebar.
Begitu berada di ambang pintu, bau anyir menyeruak keluar, membuat dirinya refleks menutup hidungnya.
"Felix?" Panggil Jisung ragu, lalu melangkah masuk ke dalam.
Namun apa yang terjadi, kakinya mendadak lemas dan membuatnya jatuh terduduk di lantai dengan tatapan tak percaya.
Felix tergantung dengan tali yang melingkar di lehernya. Perutnya bolong, organ dalamnya hilang. Yang lebih mengejutkan lagi, mata Felix terbuka, namun tidak ada bola matanya disana.
"Gak, gak mungkin."
Jisung menoleh ke arah lain dan malah melihat mayat keempat temannya yang dalam kondisi tak layak.
"Ke-kenapa? Kenapa mereka yang mati, kenapa bukan gue?"
Tatapan Jisung berubah kosong, namun air mata mengalir di pipinya. Tangannya bergerak memukul lantai dengam brutal.
"Kenapa bukan gue yang mati?! KENAPA?! HIKS KENAPA BUKAN GUE?!"
"Makanya, kalo mau berkorban jangan kelamaan."
Dari arah pintu, Woojin datang dengan kedua tangan berada di dalam saku celana.
Jisung yang mendengarnya mendesis pelan lalu berdiri dan berbalik menatap Woojin.
"Kenapa lo tega?! Mereka temen-temen lo!"
"Temen? Gue gak punya temen."
Jisung yang awalnya marah terdiam. Tatapan sendu dia tunjukan, membuat Woojin berdecak.
"Kenapa dah? Mau mati sekarang?"
"Kak Woojin, kita semua temen lo."
"Temen? Gue gak punya temen, gue cuma punya satu adek yang selalu ngerti perasaan gue."
"Adek? Lo punya adek?!'
Woojin mengangguk dengan seringaiannya. "Daripada banyak omong, lo mati sekarang aja deh. Setan-setan itu udah laper," ucapnya.
"Kalo lo yang selama ini jadi tuan mereka, Seungmin..."
"Oh Seungmin, dia yang bantu gue. Dia yang ngejalanin tugas dari gue selama gue pura-pura bertingkah seolah-olah gue bukan pelakunya."
"Bukannya Seungmin berobat ke Amerika buat nyembuhin kankernya?"
"Haha, lo gampang ketipu juga ya. Lo sama Jeongin emang nganter dia ke bandara, tapi dia gak bener-bener pergi ke Amerika. Dia gak kemana-mana, dan soal penyakitnya, dia bohong."
Jisung terkejut. "Berarti Jeongin..."
"Hehe, Jeongin urusan Seungmin. Dan lo urusan gue."
"Lo kerja sama sama Seungmin?!"
Woojin mengangguk. "Ya iya lah, kan udah gue bilang, cuma dia yang ngertiin gue."
"Maksud lo Seungmin-"
"Iya, Seungmin adek gue."