Enam

155 9 3
                                    

"Pelan-pelan."

Dengan hati-hati aku mendudukkan Chae Young di sofa lantai 13. Aku sudah tidak berpikir lagi harus membawa Chae Young kemana. Aku hanya ingin membawanya jauh dari orang-orang, termasuk So Hee.

Chae Young bersandar pada sofa itu sambil memegangi kepalanya. Aku yakin bukan jambakan So Hee yang membuatnya sampai seperti ini, tapi benjolan itu. Sampai saat ini aku masih belum tahu apa yang menyebabkan benjolan itu. Tapi yang jelas, Chae Young benar-benar tidak sedang baik-baik saja. Dari mulai kafetaria sampai ke lantai 13 aku harus bersiaga menjaganya untuk tidak jatuh. Karena gregetan Chae Young berjalan sangat pelan, setelah keluar dari lift kuputuskan untuk memapahnya saja. Aku melingkarkan tanganku pada pinggulnya dan membantunya berjalan.

Kau pikir aku baik-baik saja bersentuhan dengannya? Oh tentu saja tidak. Aku gugup setengah mampus.

Boleh aku sombong sedikit? Aku memang punya banyak fans perempuan. Kata orang banyak perempuan yang tidak akan berpikir panjang untuk menjadi pacarku. Tapi fakta itu tidak membuatku lantas mudah bersikap di hadapan perempuan. Aku... sejujurnya tak punya pengalaman dengan perempuan. Aku bingung bagaimana menghadapi makhluk yang tak pernah bisa kumengerti itu. Perempuan kadang bisa menjadi seperti malaikat dengan kelemahlembutannya, tapi kadang bisa juga menjadi makhluk yang mengerikan terutama saat datang bulan. Tapi biar bagaimanapun, aku selalu menghormati perempuan dan akan selalu berusaha yang terbaik untuk melindungi mereka.

"Kamsahamnida."

Lamunanku buyar ketika kudengar Chae Young berbisik terima kasih padaku. A...apa? Dia barusan berterima kasih padaku?

"Ne?"

"Kubilang, kamsahamnida," ulang Chae Young. Sambil masih bersandar, ia menatapku. Ia memaksakan sebuah senyuman yang... uhm... manis.

A...apa ini? Kenapa aku jadi bingung begini? Ani, kenapa aku rasanya salah tingkah?

"N...ne," gumamku. Aku membuang muka, takut tiba-tiba wajahku memerah entah karena apa.

Cukup lama kami diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk dengan kebingunganku, dan dia sibuk dengan entah apa. Kucoba mencuri-curi pandang padanya. Kulihat ia sedang memejamkan matanya. Dia tidur ya? Baguslah, aku jadi gak takut wajahku tiba-tiba bersemu merah.

Pelan-pelan kuperbaiki posisi dudukku menjadi lurus menghadapnya. Chae Young saat ini sedang bersandar pada sofa dan kepalanya miring ke kanan, persis ke arahku. Kusandarkan kepalaku pada tanganku, asyik mengamati wajahnya yang kecil itu. Kulitnya memang tidak seputih perempuan Korea kebanyakan. Mungkin akibat tinggal di luar negeri? Direktur Song kan yang kudengar pindah ke Amerika setelah menikah lagi. Meski tidak seputih perempuan Korea, kulitnya bersih. Complexion-nya hampir sempurna, tidak ada bekas jerawat apapun. Semakin sempurna dengan rona merah alami pada pipinya. Ini alami atau dia pake blush ya? Kok sepertinya bagus banget kalo ini bukan alami. Aku beralih pada hidungnya yang sangat mancung. Wah ini jelas bukan warisan dari Direktur Song, ini mah seperti hidung orang barat. Aku lalu beralih pada bibirnya yang berukuran tidak besar dan tidak kecil. Bibir itu berwarna merah muda. Aku tahu ia menggunakan lip tint, tapi kurasa tanpa lip tint pun bibir itu memiliki warna yang sehat. Puas memandangi wajahnya, aku beralih pada rambut kecokelatannya. Rambut itu terurai asal-asalan. Meski begitu, aku sangat menyukainya. Awalnya aku pikir karena perempuan ini males sisiran, tapi semakin kesini aku merasa rambut berantakannya itu mempesona. Tanpa kusadari, tanganku bergerak menyentuh anak rambut perempuan itu yang menutupi wajahnya. Lalu kulihat kelopak matanya bergerak.

Sialan, aku membangunkannya.

Ia menatapku bingung. Mungkin karena aku... berada cukup dekat dengan wajahnya. Ia lalu berbisik. "Wae?"

Songs of SummerWhere stories live. Discover now