Sembilan

115 10 1
                                    

"Yah, kupikir lebih baik mati daripada berurusan dengan pemilik-pemilik bangku itu."

Aku bergidik ngeri mendengar perkataan teman sekelasku itu. Emangnya siapa yang punya kekuatan semenakutkan itu sampai-sampai orang lebih memilih mati daripada berurusan dengannya? 

Lagi-lagi karena aku tak ingin mengacau di hari pertamaku sekolah, aku patuh saja. Aku sudah mencari di seluruh penjuru ruang kelas, tapi tidak menemukan satu pun kursi tambahan. Aku menghela nafas pasrah ketika aku memutuskan untuk berdiri di pojokan kelas saja. 

Beberapa menit kemudian, seorang guru perempuan memasuki kelasku. Ia adalah perempuan muda yang cantik, berpotongan rambut pendek dan menggunakan dress yang cute di mataku. Dia benar-benar tipe guru idola. Dan sepertinya aku benar ketika kulihat reaksi anak-anak cowok di kelasku saat si ibu guru memasuki ruang kelas.

"Good morning, class," sapa ibu guru itu. Meski terlihat seperti orang baik, namun ada aura ketegasan yang memancar. Menandakan ia bukan tipe guru yang bisa dipermainkan oleh muridnya sendiri. "How's your holiday? Is it enough or you want more?"

Seluruh kelas langsung bereaksi mendengar pertanyaan jenaka ibu guru. Hingga akhirnya ia menyadari keberadaanku. Ia awalnya menatapku bingung, namun kemudian ia seperti ingat sesuatu. Ia lalu tersenyum padaku. 

"I see we have new friend here," ucapnya ramah. "Please come here." Aku mengangguk patuh, lalu berjalan ke depan. Sambil aku berjalan ke depan, kudengar ia bergumam. "Why are you standing there?

Aku tidak menggubris pertanyaannya. Lebih seperti merasa takut dikira mengadu. 

Sesampainya aku di depan kelas, ia merangkul bahuku ramah. "So, can you introduce yourself?"

Aku mengangguk. "Hello, I am Song Chae Young. I am a transferred student from Los Angeles. Currently I live in Hannam-dong. I have... one older brother," ucapku yang tadi sempat ragu saat menyinggung tentang Ji Won oppa. "My father is an... entrepreneur and my mother is a housewife. Both of my parents still reside in Los Angeles, therefore I am only with my older brother living here in Seoul." Ragu-ragu, aku membungkuk. "I'm looking forward to be able to socialize with you all. Please take good care of me." 

Seluruh kelas tak bereaksi apa-apa pada detik pertama, hanya beberapa orang yang kemudian berbaik hati merespon dengan tepuk tangan malas-malasan di detik kedua. Sang ibu guru pun akhirnya ikut tepuk tangan. 

"Thank you, Chae Young. I am Stella Park, your homeroom teacher. I once lived in LA too! What was your school exactly?" tanya Ms Stella. 

"Really? Well, I went to LA High. Los Angeles High School," jawabku dengan senyum. 

"Is that a public school?" tanya Ms Stella. Tiba-tiba, seluruh kelas bereaksi ketika mendengar kata public school. 

Mereka langsung menatapku aneh, lalu berbisik-bisik dalam bahasa Korea. 

'apa? Dia sekolah di sekolah umum? Menggelikan'

'dari awal aku sudah menyangka dia pasti kaum privilege'

'kenapa anak seperti ini bisa sekolah disini?'

'uh, pantes. Lihat aja tasnya. Lusuh banget, kayak tas bekas.' 

'pasti akan heboh banget kalo geng chaejo udah masuk sekolah.'

Aku risih mendengar bisik-bisik teman sekelasku. Mereka jelas-jelas sedang membicarakanku, dalam hal yang negatif. Aku bisa merasakan mereka sedang meneliti setiap inci dari penampilanku, sambil berusaha mencari barang bermerek apa yang mungkin aku kenakan. Aku yakin mereka tidak akan menemukan barang bermerek apapun, karena aku sedang tidak ingin menggunakannya. Mungkin tasku ini bermerek, tapi hanya merk lokal Korea yang kubeli di pasar vintage di dekat Insa-dong. Mereka terlihat sedang menatapku seolah-olah aku adalah orang yang hina. Tapi kenapa? Apa karena aku dulu sekolah di sekolah umum, bukan sekolah swasta internasional seperti HISS ini? Apakah mereka sebegitu rendahnya hingga hanya bisa menilai manusia dari asal sekolahnya saja? 

Songs of SummerWhere stories live. Discover now