Sebelas

116 10 0
                                    

song chae young.

Pagi kembali datang, dan ini berarti aku harus kembali siap-siap pergi ke sekolah. Hari kedua mungkin tidak seberat hari pertama, tapi tetap saja aku males. Kalo bisa pilih, aku lebih pengen tidak masuk sekolah.

Tapi ada yang beda hari ini. Kemarin setelah aku tahu bahwa jarak dari rumah ke sekolahku ternyata sangat dekat, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat sekolah sendiri. Tentunya tidak dengan naik mobil atau motor, karena aku belum punya SIM. Nah jadinya, kemarin aku sudah minta pada Pelayan Kim untuk membelikan aku sepeda. Ya aneh memang, rumah semewah ini ternyata ada kurangnya juga. Sama juga seperti Pelayan Kim yang ternyata bisa aku buat kaget juga dengan permintaanku. Dia kelihatan sangat bingung dengan permintaanku karena sepeda sama sekali belum pernah ada standard operating procedure-nya. Tapi aku bersikeras ia harus menyediakanku sepeda secepatnya, supaya hari ini aku bisa memakainya. Habisnya aku nggak tahan harus naik mobil padahal jarak antara rumah dan sekolahku bahkan kurang dari 700 meter.

Akhirnya setelah selesai siap-siap, aku pun berangkat dengan sepeda baruku. Kukayuh sepeda itu melewati jalanan kompleks UN Village menuju sekolahku. Memang bukan pilihan yang nyaman, tapi bersepeda ke sekolah benar-benar memberikan pengalaman baru. Kontur tanah UN Village yang berbukit-bukit membuatku semakin senang bersepeda karena aku menikmati serunya saat sepedaku meluncur turun tanpa harus kukayuh. Angin yang berhembus menerpa wajahku benar-benar menyejukkan.

Namun saat kupikir aku sedang benar-benar menikmati waktu bersepedaku, tiba-tiba sebuah motor besar melaju kencang di sebelah kiriku. Hembusan angin yang mengikuti kecepatan tinggi motor tersebut seketika menghantamku. Aku langsung oleng, tapi untungnya aku tidak sampai jatuh. Ketika aku berniat untuk melihat plat nomor motor itu, tiba-tiba kusadari bahwa motor itu sudah terlalu jauh. Aku jadi tidak bisa menghafal platnya. Tapi yang kuingat, motor itu berwarna merah dan si pengendara menggunakan helm hitam. Ia juga mengenakan jaket hitam. Awas aja, aku nggak akan tinggal diam kalau ketemu!

Setelah bersepeda kurang lebih 5 menit kemudian, aku akhirnya sampai di HISS. Awalnya aku sedikit kebingungan mencari tempat parkir sepeda, tapi kemudian setelah bertanya dengan sekuriti aku akhirnya bisa menemukannya. Dan sesampainya aku disana, aku tahu sepertinya takdir sedang bermain-main denganku.

Ya, aku melihat motor merah brengsek itu. Syukurnya, masih lengkap dengan pengendaranya. Tapi semakin brengseknya lagi, dia malah memarkirkan motornya di tempat parkir sepeda! Baru aku hendak meneriakinya dengan sumpah serapah ketika tiba-tiba ia melepas helmnya.

Dan seketika semuanya berubah menjadi slow motion.

Helm yang terbuka itu menampilkan sosok laki-laki yang sangat... tampan. Kulit wajahnya yang putih seputih susu bersinar diterpa cahaya matahari. Rambut lelaki itu cokelat gelap, tebal dan terlihat sangat halus hingga rasanya siapapun ingin membelainya. Bibir lelaki itu berwarna merah alami, membuatnya terlihat lembut. Semua kesempurnaan fitur wajahnya ditopang oleh figur tubuhnya yang juga sempurna. Ia berpostur sangat tinggi, dengan badan berisi.

Ya Tuhan, mahabesar-lah Kau dengan segala ciptaanMu.

Saat pikiranku masih memuji-muji Tuhan, tanpa kusadari jempol kiriku yang sudah terletak di tombol bel sepeda tiba-tiba menekan tombol tersebut. Satu bunyi 'kring' yang keras membuyarkan lamunanku... dan menarik perhatian lelaki itu. Kini, lelaki itu menatapku.

Astaga, mukaku pasti kelihatan dongo.

Lelaki itu mengerutkan keningnya menatapku, seolah berusaha mengingat-ingat apakah ia mengenalku sebelumnya. Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah ekspresi menjadi dingin. Mungkin karena aku hanya diam disana, berdiri seperti orang bodoh sambil mengagumi Tuhan dengan ciptaan-Nya yang sempurna.

Songs of SummerWhere stories live. Discover now