Beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi. Semua orang pergi menuju kelasnya masing-masing. Ketika kelas XI E sudah dipenuhi oleh para siswa, seorang guru datang dengan terburu-buru. Ia nampak sedih. Matanya terlihat sembab seperti baru saja menangis. Dengan suara lirih dia menjelaskan.
"Anak-anak, kukira kalian akan merasa sedih dan tak percaya. Tapi ini adalah takdir, kita harus bisa menerimanya dengan lapang dada."
"Maksudnya apa, Bu? Kami tidak mengerti." Ujar salah satu siswa dikelas itu sambil berdiri.
"Sumiko telah pergi meninggalkan kita."
"Apa? Seseorang telah tewas? Kenapa harus siswa dikelas ini? Kenapa bukan dikelas lain? Aku sudah memperingatkan kalian sebelumnya untuk selalu waspada! Kenapa kalian tak menghiraukannya?! Kali ini sudah bukan tanggung jawab ku lagi! Aku menyerah!" Teriak Ciko dengan raut wajah yang sangat kecewa.
Ketika itu juga ia pergi meninggalkan kelas dan berlari keluar sekolah. Mirai yang melihat hal itu awalnya hanya terdiam. Dia merasa bersalah atas kejadian ini. Tapi ini sangat terpaksa, jika tidak, ia tak akan pernah bahagia. Karena cintanya pada Ciko, Mirai pun berlari mengejarnya tanpa meminta izin pada guru yang waktu itu tengah bersedih di mejanya. Semua orang terkejut dengan apa yang dilakukan gadis pendiam itu. Arata yang merasa heran pun mengikuti Mirai dengan mengendap-endap. Namun, orang-orang dikelas itu merasa tak peduli. Karena kematian Sumiko bukanlah hal yang harus dikecewakan. Mereka menganggap Sumiko sebagai gadis berkacamata yang cupu dan biasa saja. Sehingga tak ada yang pernah menganggapnya ada, kecuali saat tugas sekolah sudah sangat menumpuk. Orang-orang akan meminta tolong padanya untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. Sungguh menyedihkan.
Ketika Mirai tak sengaja melihat Ciko yang tengah berdiri di depan sebuah jembatan, ia langsung menghampirinya karena melihat laki-laki tampan itu memegang sesuatu seperti benda tajam. Ia tahu bahwa Ciko pasti akan melakukan Harakiri, tradisi bunuh diri yang dilakukan pemimpin atau orang-orang penting di Jepang ketika dirinya melakukan kesalahan yang fatal. Mirai berdiri di belakang Ciko berfikir sejenak. Apa yang harus ia lakukan untuk menolong Ciko sebelum lelaki pujaannya tersebut melakukan hal sebodoh itu. Tanpa pikir panjang, ketika Ciko hendak menusukkan sebuah batu yang sangat tajam ke perutnya, Mirai langsung memeluk dan menutupi perut Ciko dengan tangannya. Sehingga tangan Mirai lah yang sobek dan hancur. Ciko yang menyadari hal itu terkejut dan langsung menatap seseorang yang memeluknya dari belakang itu.
"Ya Tuhan! Mirai! Apa yang kau lakukan! Maafkan aku, aku tak melihat tanganmu memelukku. Maafkan aku, kumohon!"
"Tidak, ah! Sakit sekali! Tapi tenang saja aku tak apa-apa. Aku tak pernah menyalahkanmu. Aku selalu mencintaimu! Kapanpun! Aku tak mau melihatmu mati sia-sia! Aku ingin selalu bersamamu!" Mirai merintih kesakitan.
Darahnya mengalir kemana-mana dengan derasnya. Dengan segera Ciko langsung menggendongnya di depan dada dan berlari membawanya dengan taksi ke rumah sakit terdekat. Arata yang melihat kejadian itu ternganga. Ternyata gadis yang sangat pendiam dan dingin itu masih punya hati untuk merasakan cinta. Apalagi dia justru mencintai sahabatnya sendiri.
"Bertahanlah Mirai! Aku akan membawamu ke rumah sakit! Aku tak ingin teman-temanku tewas lagi!" Tegas Ciko yang menidurkan kepala Mirai di pahanya dalam taksi.
Mirai yang mendengar perkataan Ciko merasa sangat senang. Dia tak lagi merasa kesakitan hanya karena ucapan laki-laki pujaannya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit tersebut, Mirai pingsan dengan tiba-tiba. Ciko yang merasa khawatir langsung menggertak sopir taksi untuk mempercepat laju taksi tersebut. Setelah sampai di depan rumah sakit itu, Ciko dengan segera membawa Mirai kedalam dan meminta pertolongan dokter agar menyelamatkan Mirai. Sang sopir taksi mengikutinya, membantu laki-laki tampan itu membawa gadis dengan tangan yang hancur sebagian tersebut.
"Maaf, nak! Kau harus tetap disini! Kami akan berusaha semaksimal mungkin! Berdoalah agar Tuhan memberkatinya!" Ucap salah satu dokter yang menangani Mirai.
Ciko hanya bisa berpasrah. Dia terduduk di salah satu bangku di koridor rumah sakit itu, ditemani sang sopir taksi yang selalu menyemangatinya. Namun, Ciko tak menghiraukannya sama sekali. Yang ada dipikirannya hanyalah keselamatan Mirai. Dia merasa bersalah karena telah mencelakainya.
"Jika tangan Mirai diamputasi, atau Mirai tak bisa diselamatkan. Aku akan melakukan Harakiri sebagai penebusan atas kesalahanku!!!" Gertak Ciko sembari berdiri dan mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
Sopir taksi itu terkejut dengan kata-katanya, dan kembali menenangkan Ciko. Menyuruhnya duduk tenang dan tetap berdoa. Hampir saja Ciko menangis, tiba-tiba banyak sekali guru dan teman-teman sekelasnya mendatangi rumah sakit itu.
"Ciko! Ada apa ini? Kenapa Arata mengatakan bahwa kau di rumah sakit! Siapa yang sakit?"
Ciko yang tengah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya terkejut dan terbangun dari duduknya. Dia nampak gugup dan panik.
"Ano, ah! Maafkan aku Sensei! Aku tak sengaja membuatnya terluka! Maafkan aku! Aku tak berniat mencelakainya! Sungguh aku tak ada niatan buruk!"
"Apa yang kau maksud? Aku tak mengerti." Guru itu menatap sekelilingnya.
"Mirai, Mirai menyelamatkan Ciko dari aksi bunuh dirinya tadi ditepi sungai." Jelas Arata sedikit ketakutan.
"Hah?! Maksudnya bagaimana? Jadi tadi kau berniat melakukan Harakiri?! Kau ini masih pelajar! Tak perlu melakukan seperti itu jika melakukan kesalahan! Kau melakukan hal yang salah Ciko! Ketika ibumu pulang, bilang padanya untuk menemuiku dikantor!"
"Baik, Sensei!"
Ket: Sensei→Guru
Yosh! Gimana gimana:v baper gasih:( aku gabisa bikin scene roman hehe:3 maapkeun klo jelek:)
Hai! Buat teman-teman yang ingin mengajukan pertanyaan kepada author tentang cerita ini atau yang lain silahkan komen:D nanti thor akan buat satu part khusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian:) makasih^^
Jangan lupa untuk selalu vote, komen, dan share cerita ini ya.\(^0^)/
KAMU SEDANG MEMBACA
Ohayou Mirai |[Sedang Direvisi!]
HorrorKisah kehidupan siswi SMA yang telah membunuh anggota keluarganya. Dia tak tahu harus berbuat apa setelahnya. Kegelisahan, ketakutan, dan kegelapan menyelimuti dirinya. Kehidupan gadis tersebut berubah setelah seseorang menemuinya. Namun, rasa men...