21

5.8K 661 66
                                    

Helaan nafas yang gue keluarkan sedikit berat terdengar. Jam udah nunjukin pukul 9 malam dan gue belum mau beranjak dari meja belajar.

Ga ko, ga belajar. Abis iseng baca artikel tentang cara menghilangkan trauma. Dan memang salah satunya adalah mencoba menghadapi ketakutan itu. Itu artinya, gue harus mencoba berdamai dengan situasi. Gue harus bisa perlahan tenang ketika liat Dohwan lagi.

Terakhir ketemu di rumah sakit, efek yang ditimbulkan ga kaya biasanya. Gue cukup tenang walau jantung berdegup ga biasa. Apa mungkin saat itu pikiran gue sepenuhnya sama Mingyu makanya gue ga panik banget liat dia? Entahlah. Tapi gue bersyukur untuk itu dan berharap agar kedepannya gue akan normal lagi terhadap Dohwan.

Ini bukan tentang gue ingin menerima Dohwan kembali dalam hidup, bukan itu! Ini semua karena Mingyu seperti yang kalian tau. Semakin mantap rasanya melakukan sesuatu untuk dia meski ga ada imbalan apapun yang gue dapat. Memang segila itu gue. Tapi gue pribadi berpikir bahwa semua ini murni rasa tulus gue untuk lindungi Mingyu.

Gue ga mau Mingyu kenapa-napa, apalagi sampe dia meregang nyawa. Lebih baik liat dia sama yang lain dibanding liat dia ga ada lagi di bumi ini.

Ngomong-ngomong soal Mingyu, ini udah hari ketiga dia di rumah sakit. Dia berangsur pulih, tapi memang masih harus dirawat sampe bener-bener siap untuk pulang. Jujur aja, sampe hari ini gue ga nemuin dia. Sebenernya gue datang sendirian, paling hanya di parkiran atau kalo berani ya sampe lorong untuk sekedar liat pintu kamarnya. Rasanya masih terlalu campur aduk, gue rindu tapi gue ga sanggup hanya untuk liat dia.

Sekali lagi gue buka snapgram Chaeyeon. Dia masih setia nemenin Mingyu. Disana terlihat Mingyu yang lagi tidur nyenyak dengan tangan yang menggenggam Chaeyeon erat.

Sekali lagi air mata ini jatuh. Sakit hati yang terasa sangat nyata, yang dalam waktu bersamaan juga anehnya ga bisa bikin gue benci sama Mingyu. Iri liatnya, kapan gue bisa disana untuk nemenin dia disaat kaya gini? Gue juga pengen genggam tangannya, gue juga pengen ngurusin dia.

Tapi sekali lagi,

Gue siapa?

Tok tok tok!

Pintu kamer diketuk dan mama masuk.

"Udah selesai belajar?" Tanyanya lembut.

Gue cuman senyum aja. Ga belajar kan hehe.

"Kamu nangis?" Tanya mama lagi sembari naro segelas susu diatas meja belajar.

"Kelamaan liat laptop jadi matanya berair."

Mamanya cuman ngangguk pelan, dia percaya. "Minum susunya sebelum tidur."

"Yang lain kemana, ma?" Tanya gue.

"Papa di kamar. Abang juga. Bobo gih! Besok kan sekolah."

Baru aja mama mau pergi, gue tahan tangannya. "Ada yang mau Uyong omongin."

Mama kaya bingung gitu, tapi akhirnya dia duduk di sofa. Gue ikut duduk disana.

"Ma, mungkin mama tau gimana hebatnya trauma Uyong selama ini. Mama juga tau sehebat apa Uyong ingin sembuh. Uyong cape banget ketika harus bereaksi berlebihan pas liat Dohwan, ma. Uyong ga mau gini terus."

"Iya sayang iya.. mama ngerti. Mama sama papa lagi cari psikiater paling bagus. Temen papa punya kenalan psikiater hebat dari Inggris. Kamu ga usah khawatir."

Gue geleng mantap. "Uyong mau usaha sendiri."

"Usaha gimana? Jangan macem-macem!"

"Uyong mau ngadepin Dohwan. Uyong mau terapi diri Uyong sendiri, ma. Ketika Uyong berhasil biasa aja, itu tandanya Uyong udah sembuh. Uyong ga mau hidup dengan ketakutan kaya gini, mau ga mau tetap aja akhirnya Uyong yang harus berjuang sendiri buat sembuhin trauma. Bukan papa, mama atau yang lain."

Really Bad Boy✔️✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang