Prolog

1.7K 258 407
                                    


Aku menggulung lengan kemeja hingga mencapai sebatas siku. Sesaat kemudian menyeka peluh yang menitik di pelipis kanan. Ini bukan soal pekerjaan. Yah, walaupun kerjaan yang berat selalu menjadi rutinitas yang melekat pada sosokku dua tahun terakhir. Ini persoalan yang lebih berat dari itu.

"Ri, lusa ikutan ke Semeru, kan?" Pertanyaan dari Sasha kutanggapi dengan gelengan lesu. Ini dia yang sekarang terasa berat.

"Lusa gue punya janji. Kata bokap, semacam acara keluarga yang penting banget gue hadiri," jawabku seadanya.

Sasha menatapku bingung. "Tumben sih bokap lo bikin acara yang harus lo hadiri. Biasanya juga urusan kantor, kan?"

Aku menghela napas. "Biasanya gitu. Gue juga heran kenapa kali ini gue harus ikut. Bahkan bokap juga belum ngasih tau dalam rangka apa beliau laksanain acara ini."

"Nggak bisa ditunda, gitu? Kali ini anak komunitas justru lagi ramai-ramainya, loh, Ri." Argumen Sasha memang tidak dapat disangkal, tapi aku menjawab sekali lagi dengan gelengan.

"Maafin gue, ya, tapi setiap perkataan bokap gue penting. Lo tau itu."

Sasha mengangguk perlahan, menarik nafas lalu kembali menghembuskannya perlahan pula. Sesaat kemudian gadis itu memasang senyum termanisnya seraya menepuk bahuku. "Yah, gue tau kok. Nggak apa-apa. Santai aja, kali. Kalau lo berubah pikiran, hubungi gue. Em ... kalau gitu, gue cabut duluan, dah." Sasha melengang membelakangiku. Kuncir kudanya mengayun sesuai irama hentakan kakinya.

Aku mengusap wajah yang terasa kebas. Merasa sangat menyesal menolak ajakannya. Akan tetapi, menolak perkataan papa berarti berurusan dengan banyak hal. Walaupun sebenarnya aku sampai saat ini begitu bingung kenapa papa sama sekali tidak memberitahu tentang perihal yang ingin disampaikan. Bertolak belakang dengan keprofesionalitasan papa biasanya.

Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan lobi menuju tempat di mana mobilku nangkring. Sudah pukul 5 sore. Pekerjaan untuk hari ini juga sudah kelar. Saat hendak menghampiri mobil, seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. Rifan.

"Lo udah mau pulang?" Pertanyaan yang lebih terdengar seperti basa-basi di telingaku itu kutanggapi dengan anggukan dan dari wajah sahabatku itu kutangkap gelagat kecewa. "Yah, gue udah dengar dari Sasha kalau lo enggak bakal ikut kali ini. Anak-anak komunitas juga udah pada tau," ujar Rifan.

Ya, ini yang hendak kukatakan. Aku memiliki komunitas pecinta alam, detailnya, mencintai aktivitas mendaki. Kami menamainya dengan sebutan Mountain Misser. Perindu gunung. Mendaki adalah rutinitas bulanan yang pantang kutinggalkan. Dulu, hanya aku, Sasha, Rifan dan Rinai yang hanya iseng membuat komunitas ini. Kami lebih tepat disebut sebagai teman tongkrongan. Di luar dugaan, komunitas rupanya memiliki beberapa peminat. Sekarang anggotanya kurang lebih berjumlah 56 orang. Tidak banyak, tapi juga tidak dapat dikatakan sedikit untuk jumlah pendaki pemula.

"Respon mereka gimana?"

"Respon anak-anak? Lo enggak baca grup MM?" Rifan malah bertanya balik.

Aku menggeleng. "Dari tadi meja gue penuh dengan laporan dari asisten. Belum lagi pesan dari bokap dan nyokap yang wanti-wanti gue untuk pulang tepat waktu. Lagian gue juga nggak tau kalau Sasha udah duluan ngasih info ke grup."

Rifan menghela nafas. "Yah, tanpa lo tanya, sebenarnya lo juga udah tau kan gimana respon mereka? Well, kalau lo tetap mau tau lewat gue, kebanyakan dari mereka keberatan. Ya, secara gitu, masa ketua komunitas malah nggak bisa ikut?"

Aku mendengus, lalu menatap Rifan gusar. Dua minggu yang lalu, aku memang sengaja mengatur jadwal pendakian. Tak heran rata-rata anak komunitas kebingungan saat Sasha menyatakan bahwa aku terpaksa tidak dapat ikut. Yah, mana kutau kalau papa tetiba mengatur rencana pertemuan keluarga secara mendadak.

"Hei." Aku mengerjap saat Rifan mengayunkan jari-jarinya di hadapanku. Membuyarkan pikiran yang menggelayut.

"Eh, sori. Gue cuma sedikit kepikiran aja soal-"

"Udahlah, nggak apa-apa. Gue bisa maklum, kok. Lo kira 10 tahun sahabatan nggak bisa bikin gue ngerti sama lo? Santai aja, lagi. Biar komunitas gue yang urus." Rifan tersenyum tulus. Aku terbelalak.

"Serius?"

"Iyalah. Daripada ditunda? Kasihan teman teman yang udah pada siap," sahut Rifan, terdengar meyakinkan.

Aku mengelus dada, lega. Selanjutnya aku pamit pulang.

Tebakan bahwa aku akan terjebak macet tidak meleset sama sekali. Walau durasi macet tidak sepadat ibukota, tetap saja membuat otakku kembali mempertanyakan.

Sebenarnya papa hendak bilang apa?

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang