Petugas rumah sakit sigap membawa ranjang dorong bagi Mentari lalu membawanya ke ruang UGD. Aku menarik nafas panjang. Lelah. Selanjutnya, hanya menunggu di kursi tunggu.
Tak lama, Mentari kemudian dipindahkan ke kamar rawat inap. Wajahnya tidak lagi sepucat saat ia pingsan pertama kali, juga tampak mulai baik-baik saja. Aku menguntit perawat yang terus membawa Mentari semakin dekat menuju kamarnya.
Setelah Mentari masuk, aku diarahkan menuju meja resepsionis. Mengurus segala administrasi dan tetek bengeknya. Benar kan? Sekali lagi, Mentari membuatku kerepotan.Aku mengusap wajah yang kebas. Meringis pelan saat betisku sedikit terasa sakit dan sangat pegal. Berkali-kali tersandung, tersuruk, sambil membawa Mentari pula. Tumitku bahkan sudah agak membiru, lebam ringan. Apalagi punggungku. Luar biasa pegal, membawa dua beban sekaligus. Tak pernah merasa selelah ini. Syukurlah aku tidak ikutan tumbang.
Tidur di mana aku malam ini? Aku belum mendapat tempat tinggal untuk mengontrak. Pulang ke rumah? Mustahil yang benar-benar mustahil. Tidur di ruang tunggu? Aku menepis cepat ide itu. Badanku akan patah delapan kalau begitu. Kemudian aku melirik sofa di seberang ranjang Mentari. Strategis. Tampak empuk dan agak lebar. Aku bisa bermalam di sini. Sekalian memantau keadaan Mentari.
Belum lama aku rebah, ponselku bergetar. Malas melihat layar, aku memutuskan langsung mengangkat panggilan.
"Ari! Lo dimana? Masih di atas? "
Aku menjauhkan telinga begitu mendengar suara Sasha yang nyaring.
"Gue di rumah sakit."
"Rumah sakit? Lo serius? Sakit apa lo?"
"Bukan gue yang sakit."
"Jadi siapa?"
"Mentari namanya."
"Ya ampun, syukurlah bukan lo yang sakit. Share ke gue alamat RS nya, besok pagi gue nyusul ke sana."
"Iya, ntar gue share alamatnya. Udah, ya, gue mau tidur." Aku memutuskan sambungan sepihak.
Aku berusaha kembali memejamkan mata. Tak lama, mulai merasa lelap. Lelap, dan, terbang. Melalang buana membawa pergi dari lelah sejenak.
***
"Aaa!" Aku terbangun lebih karena terkejut saat sebuah bantal mendarat tepat di wajah, juga disertai teriakan tertahan dari seorang wanita. Aku mengerjap. Mentari? Lagi-lagi ia berteriak?
"Lo kenapa sih? Nggak bisa, ya, bangunin gue nggak usah pakai teriak?" aku mengucek mata. Menghilangkan sedikit buram.
"Aaa! Gue kenapa di sini?" teriaknya lagi.
"Lo pingsan. Hipotermia dua kali. Makanya masuk rumah sakit," jawabku pelan, sesekali masih menguap.
"Dan Mas Awan ngapain di sini?"
"Ya, nungguin lo bangun,lah!" jawabku cepat.
"Eh, bukan itu maksud gue. Kenapa tidur di kamar ini?"
"Lo mau gue tidur di luar, gitu?"
"Eh, bukan gitu. Maksud gue, Mas Awan kan cowok. Gue cewek. Eh," Mentari salah tingkah. Aku mendengus.
"Gue nggak ngapa-ngapain lo," sahutku cepat.
"Eh, tapi kan, bisa tidur di musholla atau di mana, gitu."
"Heh, lo seharusnya bilang makasih ke gue.
Udah gue tolongin, juga. Masih aja bawel. Badan gue nih, sakit semua gegara ngangkat lo! Setidaknya gue harus tidur layak!" protesku. Enak saja Mentari menyuruhku tidur di musholla.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI
Romance(COMPLETE) [SUDAH TERBIT] Razwan Tsabit Ghifari dengan segala kelebihan yang ia punya. Harta, keluarga, tahta, sahabat. Hanya saja, untuk perkara agama, Ari begitu meremehkan banyak hal. Suatu hari, sang ayah berniat menjodohkan putra sulungnya deng...