5

545 172 176
                                    

"Jadi ... lo mau pulang kapan?" tanyaku.

"Sebenarnya gue pernah punya keinginan buat lihat sunrise dari Semeru." Mentari memandang lurus ke depan.

"Jadi, lo niat pulang ntar subuh-subuh?"

Gadis itu menggeleng.

"Gue memang berharap bisa lihat sunrise terindah dari sini, tapi, momen ini bukan waktu yang tepat."

Sama, gue juga pengen untuk kesekian kalinya menyaksikan matahari terbit dari puncak Semeru. Tapi, waktu ini bukan waktu yang tepat. Karena gue lagi dalam mode pelarian.

"Kalau gitu, balik sekarang?" Aku memutuskan untuk tidak bertanya tentang 'bukan waktu yang tepat'. Barangkali dia memang tidak ingin menceritakan. Atau sekarang dia sama sepertiku? Tengah mencari pelarian? Mungkin saja. Lebih tepatnya, aku baru mengenalnya. Tak etis mencampuri urusannya.

"Mas Awan hafal rute nya?"

"Hafal." Aku bangkit, menyandang kembali ranselku. Kemudian menepuk bokong, menyingkirkan tanah yang menempel.
"Yuk," ajakku.

Bukannya ikut bangkit, Mentari malah termenung sekarang. Aku mendesah berat. Apa segitu berat masalahnya?

"Setiap orang punya masalahnya sendiri. Bukan tentang siapa orang yang lebih berat masalahnya, tapi tentang orang yang mampu menghadapi. Nggak lari, apalagi nyerah."

Aku menelan ludah. Sebenarnya nasihat itu lebih cocok kutujukan pada pribadiku. Sekarang aku malah tertampar oleh perkataanku barusan. Harusnya nasihat tersebut kutujukan untuk diri sendiri. Aku malah lari dari masalahku.

"Gue udah sering banget dengar nasihat yang kayak begitu. Yang lain ada, nggak?" Mentari malah tertawa mendengar nasihatku.

Shit! Aku memalingkan wajah. Sudah untung aku menasihati dan peduli padanya. Lihat saja, ia masih terbahak menertawai hal yang mungkin dianggapnya lucu. Membuatku merasa konyol juga jengkel. Entah apa yang mengganjal di hatiku. Yang pasti, melihatnya tertawa aku merasa sedikit bebanku terangkat.

"Tapi, makasih loh, udah berusaha nyemangatin gue. Yuk, turun." Mentari bangkit, berjalan ke sampingku.

Aku mengangguk. Perlahan dan berhati-hati menuruni lereng yang agak terjal. Di belakangku, Mentari malah sibuk mengomentari ini-itu.

"Kenapa sih, nggak sekalian dibikin lampu, gitu, biar terang? Ini kan juga udah dijadiin tempat wisata."

Atau,

"Jalurnya kenapa, ya, nggak sedikit diluasin, jangan setapak kayak gini?"

Atau,

"Ih sebenarnya, istana ghaib 18 tingkat itu di mana ya? Bukan di jalur ini kan, ya?"

Atau,

"Harusnya jalur buat pendaki itu pohonnya ditebang, kan? Lihat aja, gue udah berkali-kali terjedut dahan pohon."

Atau,

"Eh, daun ini bisa, nggak, ya,dimakan? Atau beracun?"

Aku berkali-kali menghela nafas berat. Apa dia tidak bisa berhenti bicara? Apa energinya terlalu besar untuk mengoceh? Mengenai pertanyaannya, sebenarnya aku bisa saja menjawabnya.

Kenapa tidak ada penerangan? Emangnya Semeru itu Taman Nasional? Mesti ada penerangan? Tentang jalur, mana ada jalur pendakian selain jalan setapak, ini bukan Bromo. Dikira jalan raya? Pohon yang harus ditebang di jalur umum pendakian? Hei, Nona, kelestarian harus dijaga. Bahkan tempat wisata tak bisa dijadikan alasan untuk menebang penopang tanah tersebut.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang