4

568 176 288
                                    

Sekitar pukul delapan malam, kami memutuskan untuk kembali. Menuruni lereng 70 derajat. Aku dan Rifan berjalan mengawasi paling belakang. Berjaga jika ada yang cedera atau tertinggal. Sedangkan Sasha dan Rinai memimpin jalan di depan. Mereka sudah cukup hafal rute Bromo, bukan masalah jika mereka yang memimpin.

Aduh, kenapa aku kebelet buang air kecil sekarang? Malah kami baru mulai berjalan dua puluh menit yang lalu. Jika menahannya sampai tiba di bawah, aku tidak bisa menjamin akan hidup lagi. Penurunan bisa sampai beberapa jam. Apalagi penerangan sangat minim dengan senter seadanya, juga belantara di sekitar. Bukan tak mungkin jika berpencar, aku akan tersesat.

"Kenapa lo?" tanya Rifan. Mungkin ia menyadari gelagatku yang aneh. Aku cengar-cengir.

"Kebelet," jawabku singkat.

Rifan malah terbahak. Apa yang lucu dari manusia kebelet?

"Mau nahan?" Rifan masih belum berhenti dengan tawanya.

"Ya nggaklah," sahutku mengkal.

"Ya udah, sono! Cepetan. Kalau cuma beberapa detik lo nggak akan ketinggalan jauh dari rombongan. Atau mau gue temani?" Rifan malah terkikik lama.

"Nggak usah! Gue bisa sendiri!" Aku berseru jengkel, mengabaikan tawa Rifan yang terlalu norak.

Di sini? Terlalu dekat. Aku melangkah lagi, di sini? Masih dekat. Mungkin sepuluh meter ke depan aja. Dan, yap. Di sini aja.

Setelah menunaikan hajat, aku kembali ke lokasi.

Pandanganku menyapu sekitar. Jarak pandangku tak kunjung menemukan rombongan. Apa aku terlalu jauh pergi, hingga mereka juga sudah jauh di depan? Ah, sudahlah. Aku juga bisa turun sendiri. Bukan masalah besar. Aku mengeratkan jaket. Udara mulai terasa menusuk tulang. Untung saja jaket yang kukenakan lumayan tebal.

Sesaat langkahku terhenti. Aku diam terpaku. Mengucek mata lalu kembali memerhatikan. Ular? Tidak salah lagi. Itu ular, melintas dihadapanku. Panjang, tapi diameternya tidak lebar. Tetap aja, binatang ini buas dan berbisa. Jadi kuputuskan mundur beberapa langkah. Sialnya, ular ini malah mengikuti langkahku.

Aku terus mundur. Jantungku berdegup sangat cepat. Mungkin hampir saja meluruh. Sebenarnya aku begitu takut dengan hewan ini, ditambah lagi, ia belum berhenti  mengikuti. Ada apa dengan ular ini?

Aku terus berjalan mundur. Perlahan dan pasti. Tersuruk beberapa kali tidak kuhiraukan. Aku masih cinta nyawa. Seakan tak ingin mundur, hewan itu malah terus maju mengikuti langkahku.

Kalau aku terus berjalan mundur, artinya aku akan terpisah semakin jauh dari rombongan. Kalau maju, nyawaku mungkin akan melayang sia-sia. Tetap saja, ular itu seperti sangat tertarik padaku. Bukannya berhenti mengikuti, malah melata semakin cepat. Apa aku masih kurang mundur?

Lo nggak takut? Azab?

Perkataan Sasha terngiang di telingaku. Aku menelan ludah berat. Masa sih, azab?

"Ya Allah, aku taubat. Besok aku akan sholat. Tapi, enyahkan ular ini," pinta batinku. Semoga mukjizat benar akan datang.

Sambil menunggu keajaiban, aku terus mundur.

"Aaa!"

"Aaa!"

Teriakan ketakutan dari belakangku sukses membuat sang ular pergi cepat. Namun beberapa detik kemudian aku dibuat bingung. Siapa yang jam segini masih ada di sini? Apa dia tertinggal rombongan? Aku berbalik badan, damn! Sebuah senter mendarat di hidungku. Aku meringis menahan perih. Sedikit darah keluar dari lubang hidung kiriku. Sial. Siapa sih?

"Aaa!!" Aku menutup telingaku yang berdengung mendengar teriakan wanita itu. Sungguh memekakkan telinga. Apa sih, maunya?

"Hoi! Jangan teriak-teriak!" seruku.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang