1

916 224 417
                                    

"Papa berniat menjodohkan Ari dengan anak sahabat Papa."

Aku menghentikan aksi mengelap rambut yang basah saat mendengar ucapan brutal yang lebih mirip sambaran petir dari kamar papa. Sesaat waktu seperti beku. Tak begerak, pun posisiku. Tak berpindah.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Memasok oksigen terbata. Jadi ini yang nantinya akan papa bicarakan padaku? Hal konyol apa ini?

"Pa, apa ini nggak terlalu mendadak? Papa yakin Ari bakalan mau? Gimana kalau Ari nggak setuju, Pa?" Nada suara skeptis mama menyadarkanku yang tengah mendengar seksama dalam bisu.

Aku kembali menelan ludah. Sambil terus menahan luapan emosi, aku terus menajamkan pendengaran di depan pintu kamar mereka.

"Gimana kalau Ari nggak setuju, Pa? Kalau dia berontak, gimana?" Mama kembali bertanya, kali ini menyiratkan rasa cemas.

"Ari nggak mungkin menolak perkataan Papa, Ma. Selama ini, perintah Papa selalu diturutinya dan kali ini dia juga harus nurut."

Ubun-ubunku terasa mendidih. Tanganku bahkan sudah mengepal sejak pembicaraan awal.

"Untuk soal lain, Ari memang selalu menurut. Tapi urusan ini kan, rumit. Sakral, menyangkut masa depan dan hidupnya Ari. Papa yakin?" Suara mama di seberang masih terdengar ragu.

Ya iyalah. mama benar. Selama ini aku selalu menuruti perkataan papa. Sekolah, pekerjaan, bisnis, passion, tapi,cukup sebatas itu. Papa salah jika ikut andil mengurusi hidup individualku. Sangat salah. Menjodohkanku? Hah. Omong kosong. Sejak kapan keluarga ini mengatur perjodohan? Ini gila. Ada hal yang tidak benar disini.

"Ini sudah keputusan Papa, Ma. Mau tidak mau Ari harus nurut. Besok kita kasih tau Ari. Lusa langsung pertemukan Ari dengan anak sahabat Papa. Bulan depan tunangan. Bulan selanjutnya langsung nikahan. Nggak perlu berlama-lama. Final."

Demi apa?
Bahkan papa telah mengatur segalanya sedemikian rupa?
Ini benar-benar keterlaluan. Kelewatan. papa mengatur hidupku dan bahkan seperti tidak membutuhkan jawabanku. Ini lebih seperti pemaksaan kehendak. Walau nantinya aku menolak, papa pasti akan tetap menginginkan proses ini berlanjut dan kemudian menjalankan rencananya. Ini tidak boleh terjadi.

Sejak kapan pula papa dan mama berpikiran kolot? Seenaknya saja menjodohkan. Pada zaman modern seperti sekarang ini, apa papa masih merasa bahwa aku layak disamakan dengan zaman lawas tentang perjodohan? Ini sungguh tidak lucu. Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Apa papa tidak menyadari itu?

Aku mengepalkan kuat jemari yang sudah memutih buku-bukunya. Emosiku sungguh telah meluap. Tanpa sedikit pun pertimbangan, aku memutuskan menghentikan aktivitas menguping lalu membuka pintu kamar papa yang kebetulan sedang tidak dikunci.

"Apa-apaan ide gila ini, Pa?"

Refleks papa dan mama menoleh ke arahku.

"Jadi, dari tadi kamu udah dengar semuanya?" Papa bersedekap. Bagaimana mungkin wajahnya bisa setenang itu?

"Tolong jangan berbasa-basi lagi, Pa. Ari udah dengar semuanya."

"Bagus kalau kamu udah dengar semuanya. Dengan begitu, artinya kamu punya sedikit waktu untuk belajar menerima dan bisa langsung mempersiapkan diri untuk acara pertemuan lusa," balas papa. Nada bicaranya masih tenang dan terkendali.

Aku menggeram. "Apa maksud Papa ngadain rencana perjodohan ini?! Shit!" Aku mengumpat tanpa sengaja, membuat Mama spontan melangkah ke arahku.

"Dengarkan dulu, Sayang." Mama mengelus lenganku.

"Dengar apa lagi, Ma? Ari udah dengar semuanya. Apa lagi yang harus Ari dengar? Alasan perjodohan? Iya, Pa? Karena apa Papa lakuin ini? Karna takut perusahan Papa tersaingi? Atau takut karna perusahaan Papa kehilangan kolega penting? Atau supaya perusahaan Papa bisa berkembang lebih maju? Agar bisnis Papa lancar? Begitu, Pa?" Tanganku mengepal hebat.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang