Aku menyerahkan uang parkir, kemudian mengeluarkan mobil dari pelataran area rumah sakit. Mengemudi secepat mungkin agar sampai di rumah. Dua puluh menit kemudian, aku tiba. Membuka pintu lalu langsung duduk di sisi ujung ranjang. Kembali mengeluarkan dompet. Ada kartu nama Asgaf, kakak laki-laki Mentari. Aku lantas menghubungi nomor yang tertera. Terdengar nada sambung yang lumayan panjang.
Masih nada sambung
Dua menit.
Tiga menit.
Apa Asgaf sesibuk itu?
Empat menit.
Ah, kumatikan saja. Mungkin, jika kuhubungi esok, akan dijawab.
"Halo, di sini Asgaf. Ini dengan siapa?" Baru saja aku akan memutus sambungan, Asgaf menjawab.
"Ini gue, Ari."
"Ari yang mana, ya?"
"Ari, yang bantuin adek lo pas hipotermia di Bromo."
"Oh, Awan, ya? Awan, kan? Kalau Awan, gue tau. Ari, gue nggak tau. Lagian adek gue bilang kalau nama lo Awan."
Aku melenguh pendek. Bahkan sekarang Asgaf ikut-ikutan memanggil 'Awan'.
"Yah, whatever." Pasrah. Terserah saja hendak memanggilku apa.
"Oh iya, ada apa? Tadi lo nelpon pas gue lagi mandi. Sori kalau gue angkatnya lama."
Alasan yang masuk akal.
"Adek lo, masuk rumah sakit."
"Hah? Rumah sakit? Hipotermia lagi? Kabur lagi naik gunung?"
Aku mendengus. Apa Asgaf sedang mencoba bercanda?
"Kena tusuk sama perampok."
Hening. Tak terdengar suara apapun di seberang sana. Apa Asgaf telah menutup sambungan? Yang benar saja? Kakak dan adik sama saja. Awkward.
"Lo jangan bercanda, Awan."
Belum ditutup ternyata.
"Gue nggak bercanda."
"Serius? Terus, sekarang keadaannya gimana? Pantas aja dia belum pulang sampai jam segini. Gue hubungi, hp nya mati. Gue tanyain temannya, kata mereka dia juga dari tadi udah pulang." Nada ucapannya terdengar panik. Satu lagi, aku tidak tahu kalau laki-laki bisa berbicara sepanjang itu dalam satu tarikan nafas. Sudah seperti perempuan saja.
"Lo mau tau keadaan adek lo atau mau nyurhat?" interupsiku.
"Oh, sori sori. Gimana adek gue?"
"Dirampok, di tusuk bagian perutnya. Kekurangan banyak darah, kritis, dan sekarang adek lo udah sadar."
"Makasih banyak udah tolongin. Sekarang gue ke sana."
Keningku berkedut.
"Ke mana?"
"Rumah sakitlah! Lo kira ke pasar?"
"Emangnya lo tau alamatnya?"
"Di mana?"
Aku melengos. Langsung saja kusebutkan alamatnya.
"Oke. Berkunjung kalau sempat, ya, Awan. Makasih udah nolongin." Belum sempat kuberi salam penutup, Asgaf sudah memutuskan sambungan saja.
Aku menghubungi Kinan sekarang.
"Kin, Mentari bilang makasih," ungkapku langsung tepat sasaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI
Romans(COMPLETE) [SUDAH TERBIT] Razwan Tsabit Ghifari dengan segala kelebihan yang ia punya. Harta, keluarga, tahta, sahabat. Hanya saja, untuk perkara agama, Ari begitu meremehkan banyak hal. Suatu hari, sang ayah berniat menjodohkan putra sulungnya deng...