2

679 206 234
                                    

Aku menyeret langkah gontai menuju dapur. Berharap masih ada roti isi bagianku yang disisakan oleh mama. Pagi tadi, aku menolak ikut sarapan bareng keluarga. Sejak kejadian semalam, aku takut tak bisa mengontrol mood dan emosi jika bertemu papa dan mama. Alhasil, perut yang tidak mampu berdusta ini menuntut untuk menyelinap mencari makanan yang masih mungkin dimakan.

Benar dugaanku. Mama memang menyisakan dua potong roti isi. Aku mulai melahap, mengunyah menyesapi rasanya. Untung saja mama ingat menyimpan bagianku. Kalau tidak, entah seperti apa nasib lambung ini.

"Masih ingat makan? Papa kira sejak nolak sarapan bareng, kamu udah nggak butuh makan lagi dirumah ini."

Aku menghentikan kunyahan. Mendengkus saat mendengar suara apatis papa. Sejak kapan papa menjadi peran antagonis dalam hidupku? Dan sekarang ingin merecoki pula? Apa sih yang ada di pikirannya? Aku bergeming, mengabaikan perkataan Papa tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya. Meneruskan kunyahanku, walau mood lapar sudah menurun drastis.

Setelah menyelesaikan kunyahan terakhir dari potongan roti isi, aku berjalan melewati papa, hendak kembali ke kamar. Sama sekali tak berniat berbicara apalagi berdiskusi, lebih-lebih jika pembahasannya tak lari dari kata 'perjodohan'.

"Ari." Aku menghentikan langkah ketika Papa memanggil. "Mungkin menurut kamu Papa egois karena udah ngurusin hidup kamu dan ngatur rencana sebegininya, tapi, Papa lakuin ini semua bukan tanpa pertimbangan. Kamu harus percaya sama Papa, ini semua buat kebaikanmu, Ari."

Aku melengos. Seberapa yakin papa saat mengatakan melakukan hal ini tanpa pertimbangan? Pertimbangan apa yang sudah dipikirkannya tanpa perlu izin dan persetujuanku? Apa lagi tadi katanya? Untuk kebaikanku? Serius? Untukku atau untuk dirinya sendiri? Tau apa papa tentang kebahagiaanku? Ini semua omong kosong. Bahkan sekedar bertanya dan berdiskusi saja enggan. Aku tidak bahagia. Itu berarti papa sudah salah, tentu saja aku punya hak untuk tidak memercayainya.

Aku memutuskan melanjutkan langkah, tidak mengacuhkan perkataan papa. Terus berderap menuju kamarku. Tinggal 40 menit lagi aku akan siap pergi.

Bertepatan saat pintu kamar kututup, terdengar notifikasi WhatsApp. Dari Sasha.

Sasha

"Gue udah nyampe di Pos I. Tapi lo nggak usah buru-buru. Gue tetep tunggu. Hati-hati. Semoga berhasil, Ri."

Aku mengangguk mantap. Sasha sudah duluan sampai di sana untuk menungguku, sekarang aku hanya tinggal menunggu kabar dari Kinan.

Karena tidak tenang menunggu kabar dari Kinan yang tak kunjung datang, aku berulang kali mondar-mandir kamar, mengusir rasa resah yang terus bermunculan, ditambah pikiran yang mulai gencar merecoki agar berpikir setiap peluang baik dan buruknya. Tetap saja, ini 30 menit terakhir tanpa kabar. Itu lebih menegangkan dari apapun.

Nada notifikasi kembali masuk. Aku hendak berseru ketika muncul nama Kinan. Akhirnya dia mengabari.

Kinan Bawel

"Mas, gue udah nyiapin semuanya. Tunggu kabar dari gue, Mas secepatnya turun dan keluar lewat pintu depan setelah aba-aba gue."

"Lo serius, Kinan? Dari pintu depan? Disitu kan markas bodyguard Papa. Lagian mobil gue juga di garasi samping. Gimana cara gue keluar?"


Kinan Bawel

"Gue serius tentang pintu depan. Mas tenang aja, rencana gue yang terbaik. Soal mobil, Mas Ghana udah ngeluarin mobilnya tepat lima meter dari rumah. Mas Ghana nunggu Mas Ari dari dalam."

"Oke. Lo yakin rencana ini akan berhasil?"


Kinan Bawel

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang