8

435 147 113
                                    

Akhirnya dengan bantuan Sasha, malam ini aku mendapatkan kontrakan. Lumayan besar dan dekat kantor dan yang paling penting, nyaman. Syukurlah malam ini aku dapat atap untuk berlindung. Atap sebuah rumah, bukan atap mobil seperti kemarin.

Aku merebahkan diri. Menerawang langit-langit. Dengan memutuskan untuk menjauh dari keluarga, artinya aku harus siap hidup serba mandiri. Balik lagi seperti saat menjalani kuliah di Oxford dulu.

Tidur, tidur! Besok aku harus kembali bekerja. Aku pelan memejamkan mata. Berharap kebaikan buat esok.

Sholat! Aku belum sholat.

Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat.

Perkataan Mentari terngiang di telingaku. Karena bergidik, takut mati lalu diazab, aku kembali bangkit. Berwudhu lalu sholat. Mematuhi perintah Mentari setiap lima kali dalam sehari.

Ah, iya. Mentari. Bagaimana keadaannya sekarang?

***

Aku kesiangan! Padahal malam sebelum tidur, aku sudah mengatur alarm persis saat azan berkumandang. Entah lupa menguncinya atau mungkin juga aku tidak menyadari saat alarm berbunyi. Alhasil, aku malah terbangun pukul setengah tujuh. Walaupun bukan Jakarta, jalanan akan tetap macet pada jam sibuk pagi.

Aku tiba di kantor pukul delapan lewat sepuluh menit. Langsung menuju ruanganku. Kemudian berdecak kesal. Baru sehari tidak masuk, dokumen sudah semakin bertumpuk saja. Aku memijat kening ringan. Seekarang perutku malah menggerutu menagih jatah.

"Kok telat, sih?" Sasha muncul dari balik pintu.

"Gue kesiangan." Aku menegakkan punggung. Duduk bersandar.

"Kalau lo mau." Sasha memberikan sebuah  lunchbox, entah apa isinya. Aku menatapnya tak percaya, baru saja perutku berbunyi, Sasha sudah datang saja.

"Mau, makasih," sambutku. Aku membuka tutupnya. Salad. Lumayan. Bisa untuk mengisi perut sesaat.

"Setiap kesiangan lo pasti nggak makan. Padahal, gue bawa untuk cemilan gue." Sasha tertawa renyah.

"Mungkin kali ini lo harus rela cemilan lo gue jadiin sarapan."

"Yeah, santai aja. Buatan gue sendiri. Habisin." Sasha duduk di hadapanku. Aku mengangguk.

"Nggak perlu lo suruh, gue juga bakal ngabisin."

Aku melahap salad buatan tangan Sasha. Dari dulu, makanan buatannya selalu terasa enak. Tanpa micin barang sebutir pun.  Begitupun salad yang tengah kukunyah ini. Begitu segar dan kaya rasa.

"Ri, lo yakin bisa tinggal sendiri di situ? Maksud gue, lo nggak mau pulang aja, gitu?"

Aku menghentikan kunyahan. "Gue bisa. Cuma belum terbiasa aja." Aku kembali melanjutkan menyendok buah anggur.

"Bokap lo gimana?"

"Gue nggak tau."

"Nggak hubungi lo?"

"Nggak."

"Terus, lo nggak cemas?"

"Bokap gue aja nggak cemasin gue," jawabku apatis. Sasha mengela nafas berat.

"Lo belum mau pulang?"

"Gue butuh waktu, Sha." Aku menatap tajam manik mata Sasha.

"Maaf, permisi?" Aku dan Sasha spontan menoleh ke arah suara.

"Ya?"

"Maaf, Mbak Sasha. Ada dokumen baru, yang harus ditandatangani," serunya.

"Oke, lo duluan aja, gue nyusul," balas Sasha. Wanita yang merupakan asisten pribadi Sasha mengangguk, lantas balik kanan, meninggalkan ruanganku.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang