9

384 135 98
                                    

Aku menghempaskan tubuh. Melepas jas dan dasi lalu melemparkannya sembarang. Tak lama kemudian aku mengecek ponsel, barangkali ada pesan penting dari kantor, tapi sesaat kemudian mataku dikejutkan dengan chat dari papa. Chat pertama sejak sehari sebelum aku dijodohkan. Haruskah kubaca? Enggan, aku membuka pesan chat itu. Bersiap dengan segala kemungkinan.

"Pulang, dan lanjutkan rencana Papa. Atau Papa cabut jabatan kamu di perusahaan."

Aku mencebik membaca pesan singkat namun padat tersebut. Tanpa basa-basi, langsung mengancam akan memecat. Kemudian aku mencelos, sama sekali tidak dewasa membawa permasalahan ini ke ranah lain. Mengorbankan karirku? Gara-gara ide konyol? Sungguh pemaksaan hakiki.

Berusaha kutepis pesan yang papa kirimkan, berlaku santai saja. Mana mungkin papa melakukan itu. Hendak mengganti posisiku dengan siapa? Bahkan beliau sendiri sudah begitu sibuk mengurus perkembangan saham dua perusahaannya. Iya, tak mungkin jabatanku diturunkan. Impossible. Papa hanya mengancam, sepertinya. Aku tidak buta soal jabatan. Untuk hal penurunan jabatan di perusahaan seperti ini, aku paham betul.

"Ari nggak pulang, Pa. Sampai Papa mencabut rencana konyol Papa."

Send! Dua detik setelah terkirim, Papa sudah membacanya. Cepat sekali. Tetap saja, aku kembali larut dalam prasangka buruk. Lagi-lagi tentang papa. Apa papa benar akan menurunkan jabatanku? Apa papa bercanda? Menurunkan jabatan atau bahkan memecatku sama sekali akan menjadi titik tumbang perusahaan. Tidak seimbang. Dari dulu bahkan papa sudah mewanti agar hal itu tidak akan pernah terjadi. Ditambah dengan etos kerjaku yang memuaskan dan dapat meraih hasil yang diluar dugaan baiknya, apa itu tidak bisa menjadi pertimbangan baginya untuk memutuskan kerjasama hanya dengan aku yang menolak untuk dijodohkan?

Hah!

Notifikasi kembali muncul. Dari papa.

"Papa selalu serius dengan perkataan Papa. Dan kalau kamu berpikir keseimbangan perusahaan akan terganggu, kamu salah. Sekarang Papa udah punya pengganti kamu."

Aku melempar ponsel ke kasur, yang langsung mental beberapa senti. Gila! Ini benar-benar gila! Kenapa harus papa yang menghancurkan hidupku? Kenapa bukan orang lain saja? Karirku? Hidupku? Perjuanganku? Apa memang hak papa untuk mengatur segalanya?

Aku mengusap wajah. Mencoba berpikir jernih. Tenang, Ari, tenang. Berpikirlah matang. Jangan terpengaruh bualan papa. Ah, sial! Kenapa pula aku masih saja terpengaruh ancaman papa?

Azan isya terdengar mampir di telingaku.

Kali ini, aku terlalu sulit untuk bangkit. Mood-ku benar-benar rusak. Dan, aku memilih untuk membalikkan badan. Mengabaikan kumandang azan hingga selesai, lantas memejamkan mata. Satu kali saja, kutinggalkan hari ini. Hanya isya.

***

Aku terbangun ngos-ngosan. Terbata mengatur napas. Keringat dingin sebesar biji jagung mengalir melewati pelipis, pun badan ikut berkeringat dingin. Apa? Apa barusan memang benar terjadi? Apa aku benar-benar sudah mati?

Aku mengangkat tangan, memerhatikan lekat. Tembus pandang? Tidak. Kemudian aku mencoba meraih ponsel di nakas. Bisa, aku nyata memegangnya. Selanjutnya bangkit, mencoba berdiri dan menatap cermin. Wajahku tidak pucat, walaupun butir keringat sebesar biji jagung membasahi pelipis.

Aku masih hidup.

Mimpi itu begitu nyata. Prosesi pencabutan nyawa, seperti memang dikuliti hidup-hidup. Belum lagi semua dagingku terasa lepas betebaran, keluar dari sendinya. Juga mataku, seperti lepas dari ototnya. Nyawaku, aku benar-benar dapat melihat nyawaku melayang. Suram. Penuh kesedihan. Ditambah tangisan pilu semua orang. Juga Mentari ada di sana.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang