12

375 117 120
                                    

Aku berkali-kali menatap cermin. Memastikan penampilanku layak di hari pertamaku masuk kerja. Aku akan mulai membuktikannya hari ini. Dan aku pasti dapat melakukannya. Tanpa bantuan papa.

Sesaat kemudian aku berjalan santai menuju mobil, menekan pedal gas lalu meluncur.

Ini memang belum waktunya untuk pergi bekerja. Masih terlalu pagi. Tapi, aku harus lebih dulu membeli sarapan. Beberapa hari lalu aku juga masih terlalu malas bergerak untuk membuat sarapan. Bukan apa-apa, aku hanya sedang malas membeli bahan pokok makanan.

***

Pekerjaan berjalan baik. Direktur menaruh hormat padaku, yang kuduga karena Rinai membicarakan pengalaman dan etos kerja yang dapat kubuktikan di hari pertamaku. Dalam dua bulan jika hal ini terus berlanjut baik, maka aku akan kembali naik pangkat, atau bisa jadi dipromosikan pada kedudukan yang lebih baik.

Ah, iya, sekarang sudah pukul lima sore. Aku menyusuri jalanan yang cukup padat. Tak heran, Surabaya itu termasuk kota sibuk. Yah, walaupun tak sesibuk Jakarta, of course.

Saat sedang menikmati menyetir dalam kemacetan yang singkat, tiba-tiba aku merasa mobil sedikit oleng. Kuputuskan saja untuk meminggirkan. Dan benar, ban kempes. Sialnya, aku malah tidak mempunyai ban serep. Gerak cepat, aku menghubungi bengkel langganan yang sepuluh menit kemudian mendatangkan mobil derek untuk membantu perjalanan mobilku sampai bengkel.

Tanpa diberi tahu pun, aku mengerti mobilku butuh waktu lama untuk sehat kembali. Entah kenapa pula bengkel hari ini ramai. Tidak biasanya. Jadi, dari pada menunggu, aku lebih baik berkeliling saja. Mencari makan malam, walaupun ini masih terlalu cepat untuk makan malam. Yah, selagi ada waktu luang, lebih baik dimanfaatkan.

Aku berjalan sekitar tiga ratus meter dan mendapati restoran padang. Langsung saja kupesankan makanan lalu melahapnya cepat. Tak ingin waktu maghrib kuhabiskan di perjalanan. Setelah piring tandas, aku berjalan santai, menyusuri tiap langkah dengan ringan. Tinggal menunggu beberapa menit saja, dan sudah langsung bisa pulang.

Sesaat aku mendengar teriakan seseorang. Seseorang yang kukenal. Suara ... Mentari? Apa telingaku tak salah dengar? Tapi, teriakan ini, aku sangat menghafalnya. Ini memang Mentari. Aku menajamkan pendengaran, lantas berjalan berjingkrak pelan ke sumber suara. Tapi, suara itu telah lenyap. Ah, mungkin saja aku memang hanya sedang berhalusinasi.

Ketika aku baru hendak memutuskan untuk berbalik arah, kembali ke posisi mobilku singgah, aku secara kasar ditabrak seseorang. Ia menatapku beringas.

"Kalau lu lapor polisi, lu gua abisin sekalian!" ancamnya, menudingku dengan sebilah pisau lipat yang berselimut ... darah? Aku menelan napas. Belum dapat berpikir panjang, seorang yang tadi menabrak berlari cepat.

Apa yang terjadi? Perkataannya yang barusan mengancam membuatku berpikiran negatif. Apa ia baru saja menghabiskan seseorang? Seseorang yang beberapa detik lalu berteriak. Menghabisi Mentari? Aku mempercepat langkah menuju asal suara Mentari tadi.

Betapa mataku membulat saat melihat Mentari telah terkapar tak berdaya. Perutnya ... berdarah?

Seketika perutku mual. Aku paling tidak tahan melihat darah yang mengalir. Mengucur. Apapun. Aku punya phobia yang aneh bagi sebagian orang. Dan tidak asing bagi diriku sendiri. Phobia darah.

Apa yang harus kulakukan? Darahnya semakin menderas. Tidak berhenti walau sedikit. Aku mengusap wajah. Melepas jas, kemudian mengikatkan bagian lengan jas pada pinggang hingga perut Mentari. Tidak mempengaruhi banyak hal, tapi setidaknya, bisa menahan sedikit laju cairan pekat merah itu untuk keluar lebih banyak. Selanjutnya dengan tangan yang masih gemetaran, aku menggendong tubuhnya, kuusahakan berjalan cepat. Secepat mungkin. Mentari harus tertolong.

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang