Aku berkali-kali menoleh pada Mentari. Kebingungan tentang apa yang harus kulakukan sekarang. Hendak menghubungi keluarganya, ia tidak membawa ponsel. Yah, mungkin seluruh isi tasnya memang udah dirampas oleh jambret kurang ajar.
Sudah tiga jam berlalu, gadis ini masih betah saja mengatup mata. Membuatku berkali mondar-mandir ruangan, tidak tahu harus melakukan apa. Meninggalkannya juga mustahil.
"Hai." Aku spontan menoleh ke arah Mentari yang tersenyum lemah dari pembaringan. Wajah pucatnya yang tadi masih sama, terlihat pucat. Akan tetapi setidaknya, senyumnya bisa sedikit mengangkat kegelisahan keadaannya.
"Hai lagi," balasku, lantas mendekat.
"Terima kasih buat pertolongannya, lagi, Mas Awan."
Aku menarik sudut bibirku. Tersenyum miring.
"Dan, lo ngerepotin gue. Lagi-lagi," gumamku.
"Dan gue juga nggak tau kenapa Mas Awan yang datang bantuin. Lagi-lagi," balas Mentari. Aku tertawa renyah. Begitupun Mentari, walau sedikit lemah.
Lagi-lagi gue ketemu lo buat nolongin. Dan lo, buat repotin. Alasan bertemu yang aneh. Tapi, gue nggak terlalu membenci alasan ini.
Hening. Hanya terdengar pergerakan jarum jam yang memusing. Menambah hening ruangan dengan interior serba hijau ini.
"Gue belum sholat. Maghrib sama isya," ujar Mentari. Pandanganku yang sebelumnya menatap layar tancap kini beralih pada Mentari.
"Lo nggak usah sholat dulu. Luka lo masih basah," saranku. Mentari menggeleng.
"Gue harus sholat. Gue masih hidup. Dan gue masih bisa," sahutnya, berusaha untuk turun dari ranjang.
"Aw!" pekiknya. Aku menggeleng pelan.
"Barusan gue udah bilang, luka lo masih basah. Jangan banyak gerak. Bandel," omelku.
"Gue kan cuma mau sholat, biarin gue aja, kenapa, sih? Bawel amat, lagian."
"Ya sudah, kalau bisa, turun aja sendiri," tantangku. Ia pasti tidak bisa.
Aku membelalak ketika ia nekad bangkit. Meringis sedikit, tapi langsung memaksakan langkah. Hei, apa ia tidak memedulikan kesehatannya? Ia ingin merepotkanku lagi, hah? Tubuhnya oleng. Langsung kuraih. Sebelum lebih rendah menyentuh ubin.
"Ck! Keras kepala. Sini, gue bantu." Aku melingkarkan tangan kanan Mentari di leher. Sedangkan tangan kirinya yang diinfus membawa tiang infus.
Di depan kamar mandi, aku melepaskannya. Ia lantas masuk. Muncul tiga menit kemudian, sudah basah oleh wudhu. Aku kembali meraih lengannya, hendak kusampirkan di bahu.
"Aaa!"
Demi apa?!
Aku langsung melepas lengan Mentari. Cepat mengusap telingaku yang berdengung hebat. Sungguh, telingaku tidak pernah lebih sakit dari ini. Ia berteriak tepat sekitar sepuluh senti dari telingaku. Ia sudah gila? Gendang telingaku apa kabarnya?
"Lo kira telinga ada jual di pasaran kalau rusak, hah? Lagian teriakan lo bikin nih telinga gue sakit! Bisa nggak, sih, nggak usah teriak?" bentakku. Sakit begini, dia masih saja sanggup menarik dalam suaranya untuk berteriak.
"Dih, nyalahin gue. Salah Mas Awan, tuh!" Mentari balas menuding.
"Ck! Gue bantuin, salah, nggak bantuin juga salah!" Aku bersungut, tanganku masih menempel di telinga. Melindungi kalau-kalau ada teriakan susulan darinya.
"Kalau gue udah selesai wudhu, jangan sentuh gue, tau!" Mentari balas mencebik.
"Heh, lo jangan ge er. Gue nyentuh buat bantu lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENTARI
Romantizm(COMPLETE) [SUDAH TERBIT] Razwan Tsabit Ghifari dengan segala kelebihan yang ia punya. Harta, keluarga, tahta, sahabat. Hanya saja, untuk perkara agama, Ari begitu meremehkan banyak hal. Suatu hari, sang ayah berniat menjodohkan putra sulungnya deng...