16. Kejujuran Dalam Sunyi

1K 206 179
                                    

For further information, aku nggak tahu bisa update cepet lagi apa nggak karena--uhuk--besok diriku udah mulai nguli, jadwal full, ada ikut beberapa acara, dan, gitu deh. Semoga masih ada waktu buat post lanjutan ini.

Anw, here is a question for you.

Kalau cinta nggak pernah salah, terus kalau suka sama sahabat sendiri, salah siapa dong?

-

Saka

Dari dulu, gue nggak pernah suka rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari dulu, gue nggak pernah suka rumah sakit.

Bukan karena gue punya dendam kesumat atau takut sama suntikan dokter. It’s just... I don’t like it. Mungkin ini perihal perspektif sih, tapi buat gue, rumah sakit itu tempatnya orang sakit—ya iyalah, nggak mungkin jadi tempat ternak lele.

But seriously speaking, gue ingin sebisa mungkin menghindari kontak apapun dengan rumah sakit. Karena jika gue ke sini, selalu akan ada kemungkinan bahwa gue akan jadi bagian penduduk di sini, dan yang jelas bukan sebagai pekerja.

Mencoba membayangkan saja membuat gue benar-benar enggan untuk datang.

Tapi, gue lebih nggak bisa menolak permintaan Mama. Di malam begini, nggak mungkin gue membiarkan Mama datang ke sini, sudah jauh-jauh dari Bandung. Tapi dibanding semua itu, sebenarnya gue lebih ingin membawa Mama pulang, kalau bisa gue antar sampai ke tempatnya sekarang—yang sebenarnya gue nggak tahu Mama tinggal di mana—jadi Mama nggak perlu lagi ke sini hanya untuk menjenguk orang yang jelas-jelas nggak perlu dikunjungi.

And so, here we are. Di rumah sakit yang ternyata nggak jauh dari kantor, duduk di kursi tunggu untuk menunggu seseorang.

“Nah, itu dia udah datang,” kata Mama sambil berdiri.

Gue ikut berdiri, mengikuti arah pandangan Mama. Tapi hanya butuh beberapa detik bagi gue untuk mengepalkan tangan begitu melihat siapa yang datang.

“Halo, Bu.”

Itu Rino.

Ngapain coba di di sini?

Gue terus menatap Rino, melihat gerak-gerik dia. Awalnya dia tersenyum, kelihatan mau menyalami Mama, tapi gue langsung maju, menengahi. Persetan mau ribut di sini juga, gue betul-betul nggak peduli.

“Ini mau ngapain?” sembur gue ketus.

Rino kelihatan terkejut, tapi sebelum gue sempat lanjut bicara, Mama sudah menahan gue, mendorong gue sedikit ke belakang.

“Satmaka, pelan-pelan. sopan. Ini tempat umum,” kata Mama pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah Rino. “Mas Bimo gimana?”

“Mas Bimo lagi istirahat, Bu. Boleh ke kamarnya aja kalau mau,” jelas Rino. Jujur saja, dari suaranya saja gue merasa bisa jadi John Cena sekarang juga. “Saya sudah sempat bilang ke satpamnya sebentar. Katanya boleh asal nggak lama.”

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang