Patah hati yang ke sekian sudah dekat. Siyap?
-
Adara
Pagi ini, aku menemukan diri sendiri di atas kasur. Yang aku ingat, kemarin malam aku masih di sofa, menangis hanya karena keributan kecil dari Pak Bos dan sekretarisnya, kemudian mengantuk dan mendengar ada suara Mas Edsel.
Tapi sekarang aku di sini. Tidur. Bangun dengan nyaman. Sendirian.
Berarti aku betul, kan? Betulan mimpi ternyata.
Aku nggak tahu kalau menyadari diri tengah bermimpi bisa terasa sebegini leganya. Karena jujur saja, aku nggak tahu harus apa jika saja itu jadi kenyataan. Tapi kalau soal itu, aku mungkin yang bodoh karena berpikir terlalu jauh.
Mimpi macam apa aku sampai Mas Edsel berbisik kalau dia sayang sama aku?
Tolong, ya, aku ini bukan hasil reinkarnasi pahlawan atau penyelamat ikan paus. Mimpi seperti itu terlalu tinggi untukku. Cukup di dunia asli ini saja ya aku pusing, jangan di alam bawah sadar aku ikutan pusing juga.
Berarti kemarin aku nonton bareng Mas Edsel juga mimpi dong? Why it sounds a little bit creepy?
Dengan keinginan seadanya untuk bangkit dari kasur, aku beranjak ke kamar mandi, sengaja cuci muka dulu, menyalakan water heater dan keluar dari kamar untuk mencari makanan. Tadi malam padahal aku merasa kenyang betul karena popcorn—apa aku mimpi juga untuk yang satu itu?—tapi sekarang perutku keroncongan seolah nggak dikasih makan tiga hari tiga malam.
Lebay banget, ya? Tapi itu kalimat yang biasanya Bang Saka ucapkan tiap kali dia datang ke apartemenku dan dengan seenaknya menginvasi isi kulkasku karena perutnya yang lapar parah
Bang Saka lagi.
Seems like talking about him is too easy, as easy as breathing. Kalau kayak gini, percuma saja aku mau melupakan kalau tahu-tahunya aku kembali ke sini. This zero point.
“Eh, Dara. Udah bangun?”
Jangan salahkan aku yang terperanjat begitu suara itu terdengar. Rasanya mau langsung berlari ke kamar atau bahkan keluar untuk teriak minta tolong. Tapi begitu Mas Edsel yang muncul, aku merasa jadi bodoh sendiri karena panik.
“Mas Edsel?” Aku mencoba memperhatikan Mas Edsel. Pakaian Mas Edsel masih sama seperti pakaian kantornya kemarin—masih sama dengan pakaiannya yang ada dalam mimpiku kemarin.
“Maaf tadi malam aku masuk ke kamar kamu. Soalnya nggak enak ngelihat kamu tidur di sofa, jadi kupindahin ke kamar,” ujar Mas Edsel sambil tersenyum kecil. “Aku tidur di sofa kok, tenang. Dan, oh, popcorn sisa kemarin aku buang aja ya?”
“Sisa kemarin?” tanyaku, mencoba memastikan apa yang kudengar.
Mas Edsel mengangguk. “Iya, yang kamu makan tadi malam sambil nontonin drama kamu itu tadi malam,” jelas Mas Edsel lagi. “Sekarang mending makan bubur aja, yuk? Tadi aku beli di bawah. Yang kamu nggak pakai daun bawang, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Manipulasi Rasa & Enigma Rasa
Romance[Manipulasi Rasa: COMPLETED] [Enigma Rasa: Soon] Tiga rumah berderet membuat Adara mengenal Saka dan Edsel. Sekian tahun berlalu, jalinan berlabel sahabat terbentuk. Satu janji dibuat bersama untuk mempertahankan hubungan yang ada. Tapi, katanya seb...