Jadi gimana chapter kemarin? Wkwk.
Kalian samtig banget deh ya pas digantung komennya jadi banyak. Aku gantung lagi aja kali ya biar rame lagi, LOL.Anw, enjoy. Siapin hati ya~
-
Saka
Gue paling nggak suka mengingat-ingat masa lalu.
Tapi, lo tahu, semakin keras lo mencoba melupakan sesuatu, bakal semakin banyak cara yang muncul agar hal itu tetap menempel dalam kepala lo, hingga akhirnya lo bisa sampai pada titik di mana ada kesimpulan yang tak akan bisa terbantahkan: usaha lo untuk melupakan merupakan hal yang sia-sia.
Kenapa gue tahu itu semua? Karena gue tahu bagaimana rasanya. Dan sekalipun ini sudah abad ke-21, nyatanya robot kucing yang sering disebut musang itu masih belum hadir di dunia ini. Jadi gue belum bisa minta alat untuk melupakan ingatan-ingatan tertentu.
Seandainya amnesia merupakan sebuah kekuatan psikis, dipastikan gue akan jadi pertapa atau mungkin sekarang tengah sibuk mengerjakan disertasi dalam bidang perdukunan.
I know, imajinasi gue memang liar. Tapi gue tahu apa arti ‘liar’ yang sebenarnya, nggak usah khawatir. I’ve been through it.
Gue mungkin akan dikutuk karena malah berharap untuk pikun di saat orang lain berharap untuk tetap memiliki ingatan yang utuh. Tapi mungkin mereka lupa, bahwa pada dasarnya seperti sebilah pisau, bisa membantu, namun di saat yang sama menyimpan kemungkinan untuk menyakiti.
In my case, the second option often happens. Terlalu menyakitkan sampai gue merasa ingin menyingkirkannya, bahkan sampai pada tubuh yang menanmpung ingatan itu sendiri.
Ekstrim, gue tahu. Tapi nggak ada lagi cara lain yang gue pikirkan. Bertahun-tahun, semua itu terbayang dalam kepala gue. Sampai akhirnya ada dua orang yang membuat gue berpikir bahwa ingatan itu ada karena gue menganggapnya ada.
Ada cara yang sebelumnya nggak sempat gue pikirkan. Gue mungkin tidak bisa menghilangkan, tapi gue bisa menggantikan, menimpa apa yang sudah ada dengan apa yang lebih membahagiakan.Yang gue yakini, semua itu akan berjalan dengan mudah. Gue pikir menjadi optimis merupakan hal yang baik, mendikte otak gue sendiri bahwa gue akan baik-baik saja. Ternyata menjadi optimis dan membodohi diri sendiri itu beda tipis.
Dan yang gue lakukan? Tentu saja, lagi-lagi opsi kedua.
Semua yang gue rasa sudah gue kubur ternyata masih pada tempatnya, hanya gue saja yang menutup mata dengan debu-debu penipu, sampai akhirnya kenyataan meniup debu penghalang itu dan membawa gue kembali pada kenyataan.
Masa lalu mungkin bisa digantikan, tapi selalu ada bekas yang ditinggalkan, yang seringkali tak lekang oleh waktu.
Tidak ada satu pun yang berubah. Gue tetaplah gue, seorang Satmaka Bagas Sasongko yang merasa hidupnya baik-baik saja padahal hanya jadi seorang pengecut yang mencoba menghindar dari kenyataan yang ada di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manipulasi Rasa & Enigma Rasa
Romance[Manipulasi Rasa: COMPLETED] [Enigma Rasa: Soon] Tiga rumah berderet membuat Adara mengenal Saka dan Edsel. Sekian tahun berlalu, jalinan berlabel sahabat terbentuk. Satu janji dibuat bersama untuk mempertahankan hubungan yang ada. Tapi, katanya seb...