Tadinya nggak mau update. Tapi, bae kitu lah. Nggak mau sengsara sendiri. :)
Btw, pengen minta spam komeng dong wkwk. Aku butuh ketubiran kalian since ini lagi butuh hiburan karena angkot pulang nggak ada hhhh.😂
-
Saka
Gue nggak pernah jago main petak umpet. Terakhir kali gue memainkan permainan itu pun mungkin di bangksu SMP, itupun sudah tambah improvisasi tujuan, untuk mengganggu orang.
Tapi, yang gue ingat, gue nggak pernah menang. Baik gue yang harus mengejar maupun yang dikejar. Dan sekarang, gue seakan dipaksa untuk memainkan permainan ini lagi, dan yang gue lawan adalah pemain paling handal yang sampai memainkan petak umpet ini dalam kehidupan nyata.
Cara berpikir gue yang ini mungkin konyol, tapi gue nggak tahu lagi bagaimana caranya gue menggambarkan Adara yang kelihatan betul sedang menghindari gue. Dan kenapa gue bilang bahwa gue bersaing dengan pemain paling handal? Karena permainan ini sudah gue jalani sejak kemarin dan belum ada ciri-ciri permainan ini bakal berakhir.
Gila, kan? Lebih dari 24 jam Adara menghindari gue dengan berbagai alasan, dan gue masih belum berhasil bahkan untuk bicara sedikit sama dia.
Apalagi coba ini kalau bukan menghindar?
Dan siang ini, permainan itu masih terus berjalan. Padahal gue sudah mencoba untuk kongkalikong dengan Edsel, sengaja memintanya untuk mengajak Adara ke kantin tanpa perlu bilang gue ikut menunggu. Padahal, Adara sudah mengiakan di telepon. Tapi dua menit kemudian Adara kembali mengabari Edsel bahwa dia akan makan di luar sekaligus berangkat untuk mengurus tugas barunya di kantor di daerah Pondok Indah.
Rencana gue gagal.
Mungkin gue memang nggak ada bakat berbohong.
But, hey, I’ve done it since years ago. Bahkan sampai sekarang. Apa memang gue yang nggak bisa bohongin Adara?
“Lo betulan nggak ada diceritain apa-apa sama Adara nih, Sel?” tanya gue pada Edsel. Dia menatap gue, alisnya sedikit terangkat. Yah, gue nggak akan menyalahkan Edsel sih, karena kemarin malam gue sempat menanyakan hal yang sama, di saat Adara bilang dia mau tidur lebih cepat, dan gue hanya bisa ngobrol sama Edsel di tengah gelapnya malam.
Hanya ngobrol, serius.
Sama seperti kemarin malam, Edsel menggeleng sambil menenggak jus sirsaknya. “Nggak tahu, Sak. Malah gue pengin nanya, kalian kenapa,” tutur Edsel. “Berantem?”
“Nggak tahu gue, Sel. Sumpah.” Gue menghela napas. Seandainya gue tahu kenapa, gue mungkin nggak bakal bertanya sama lo, Sel. “Dia nggak ada bilang atau ngomel-ngomel soal gue emangnya kemarin, Sel?”
“Not even a bit.”
“Tuh, kan! Terus kenapa coba?”
Edsel memandangi gue, menyeruput habis jus dalam gelas sebelum meletakkan gelasnya, punggungnya membungkuk, tubuhnya agak merosot dengan tangan yang melipat di depan dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manipulasi Rasa & Enigma Rasa
Romance[Manipulasi Rasa: COMPLETED] [Enigma Rasa: Soon] Tiga rumah berderet membuat Adara mengenal Saka dan Edsel. Sekian tahun berlalu, jalinan berlabel sahabat terbentuk. Satu janji dibuat bersama untuk mempertahankan hubungan yang ada. Tapi, katanya seb...