19. Verifikasi Perasaan

983 240 136
                                    

Gimana sama chapter sebelumnya? :)

I left this chapter uniedited karena updatenya lagi pusing. Aku lagi banyak rekap data, catatan, ngurus administrasi dan delegasi acara, dan waktu kalian liat ini update, aku lagi ngejar deadline nuntasin tugas ilkom.  :))))))
Silakan ingetin aku kalo ada yang nggak rapi di chapter ini.

Semangatin aku lewat rusuhin edsel dara saka dong~

-


Edsel

Telepon dari Tante Anita hari ini membuat gue sedikit kebingungan. Atau, ya, gue benar-benar kebingungan. Entah kenapa Tante Anita kedengaran begitu tergesa-gesa begitu bertanya soal Saka, kemudian meminta gue untuk datang menemuinya di rumah sakit. Katanya ada yang ingin dia obrolkan berdua dengan gue. Hanya berdua.

Gue sama sekali nggak mengerti kenapa Tante Anita meminta gue datang, tapi gue juga nggak punya alasan untuk menolak. Karena itu, gue datang sendirian—seperti yang diminta Tante Anita—tepat setelah selesai kerja. Gue sempat mengirim pesan ke Adara untuk menunggu gue sebentar sebelum pergi ke alamat yang Tante Anita kirimkan pada gue. Tapi nggak lama Adara bilang dia mau pergi lebih dulu ke tempat lain.

Jujur saja, gue sekarang benar-benar nggak mengerti apapun. Wajar nggak sih kalau gue merasa penasaran sekaligus nggak enak dengan hal yang gue lakukan sekarang?

Lebih dulu gue memberi kabar pada Tante Anita bahwa gue sudah sampai, menunggu di lobby rumah sakit. Nggak lama berselang terkirimnya pesan gue, Tante Anita sudah terlihat, berjalan mendekat ke arah gue. Lebih dulu gue berdiri, menyalami Tante Anita.

Tapi nyatanya bukan hanya Tante Anita yang datang. Ada satu lagi, cowok yang kelihatan lebih muda dari Tante Anita tapi lebih tua dibandingkan gue. Dia tetap di belakang, hanya tersenyum kecil ketika gue memandangi dia.

Gue nggak kenal sih, tapi setelah beberapa kali diamati dan dicermati, gue merasa seperti pernah melihat cowok ini, entah di mana. Ada sesuatu yang membuat gue seolah ingin menyematkan orang ini dengan kesan familier.

Tapi, siapa?

“Sudah pulang, ya?”

Kembali gue alihkan perhatian gue pada Tante Anita begitu mendengar suaranya lagi. Sambil mengangguk, gue menjawab sekenanya. “Iya, Tante.”

“Satmaka juga sudah pulang?”

“Kayaknya sih sudah, Tan. Tapi kurang tahu, biasanya divisi Saka suka ada kerjain beberapa printilan dulu,” gue tersenyum kecil. “Mau saya tanya dulu aja? Barangkali Saka bisa ke sini.”

“Nggak usah, Edsel. Kamu saja cukup,” balas Tante Anita, masih dengan senyum yang diberikan pada gue begitu gue menyalaminya tadi.

Gue pikir Tante Anita akan mengangguk, tapi ternyata yang gue dapat justru sebaliknya. Nampaknya gue benar-benar diminta datang sendirian.

Tapi kenapa coba?

“Kamu lagi ada kegiatan nggak nanti malam?” Suara Tante Anita kembali terdengar.

Gue menggeleng. “Nggak ada, Tante.”

“Kalau gitu kita ngobrol-ngobrol agak lama nggak papa ya?” tanya Tante Anita. Tak ada jawaban lain yang bisa gue berikan selain anggukan. “Ada yang pengin Tante tanya. Takut lama. Kamu betulan kosong setelah ini?”

“Oke, Tante.”

“Tapi, Sel,” Tante Anita menatap gue, kelihatan begitu serius. “Tante pengin kamu jawab jujur, oke? Dan obrolan kita ini sebisa mungkin jadi rahasia aja.”

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang