3. Cuplikan Perasaan

2.2K 373 122
                                    

2k+ words. Jangan kobam ya

---

Saka

Seingat gue, terakhir kali gue punya pacar itu waktu gue baru kuliah. 18 tahun. Delapan tahun yang lalu. Dan yang jadi pacar gue juga kakak tingkat, asisten dosen untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tapi hanya itu yang bisa gue ingat.

Masalah gimana perasaan gue dan apa saya yang gue lakukan semasa pacaran sama kakak tingkat gue itu terlalu buram untuk gue ingat lagi sekarang. Yang pasti, hubungan itu hanya berlangsung selama satu semester karena kakak tingkat gue itu bilang terlalu banyak yang bicarain kami.

Gue nggak keberatan dengan berakhirnya hubungan kami itu. Entah kenapa. Tapi kalau nggak salah—dan gue merasa ingatan gue yang secuil ini masih bisa dipercaya—waktu itu yang menyatakan perasaan lebih dulu itu kakak tingkat gue itu.
Ini bukan gue mau sok melupakan mantan. Gue betulan lupa-lupa ingat.

Jadi, wajar gue bingung sendiri waktu Edsel tiba-tiba nanya, “Yang bikin lo akhirnya pacaran waktu itu apa, Sak?”

Sumpah, lebih baik Edsel tanya soal matematika ke gue. Karena gue sudah punya jawaban pasti bahkan tanpa perlu berpikir. Tinggal bilang “nggak tahu, Googling aja sana” or something similar. Kalau begini kan, gue harus mikir ulang bahkan hanya untuk sekadar memahami pertanyaannya.

Random banget pertanyaan lo, Sel,” komentar gue sambil menusuk potongan tahu di mangkuk berisi batagor di depan gue. “Napa dah? Pengin pacaran lo?”

“Nanya doang.”

Sengaja gue mengangkat alis tinggi karena heran. nggak biasanya Edsel random begini. Tapi kalau dia sudah jawab begitu, gue tahu nggak ada yang bisa gue korek lagi. Lagi pula, kalau dia mau pacaran juga, yah, no problem. Gue melihat itu sebagai peluang untuk bisa mengisi perut, minimal Bakmi GM atau Burger King gitu. But this is kinda unexpected of Edsel, asking love stuff to me. Ke gue.

Berarti ini gue lebih berpengalaman dong ya dibanding Edsel?

Lebih dulu gue mengisi tenggorokan dengan es teh sebelum menjawab, “Aslinya gue lupa-lupa ingat sih, Sel. Terakhir gue pacaran juga 8 tahun lalu. Tapi kalau pacaran, kan, biasanya karena suka. Karena nyaman. Karena ngerasa mau jadi yang ‘lebih’.”

Edsel manggut-manggut sementara tangannya mengambil sambal dan dituangkan ke mangkuk baso. Sumpah, suka seram gue kalau Edsel masukin sambal ke makanannya. Berasa kayak lagi nuangin air ke mangkuk.

“Lo percaya nggak kalau ngabisin waktu lama sama seseorang bakal buat lo suka sama orang itu?”

Gue mau menjawab, tapi pertanyaan Edsel yang ini membuat gue makin bingung. “Lo suka sama Mbok Inem, ya?”

The heck? Mikir begitu dari mana lo?” Edsel langsung meringis, dia menatap gue seakan gue baru saja mengucapkan kalimat nista.

Don’t blame me. Lo bilang soalnya yang lama ngabisin waktu sama lo. Siapa lagi kalau bukan Mbok Inem, coba? Mbok Inem bahkan ngurus lo dari zaman nyokap bokap lo baru nikah.”

Dari semua orang yang paling lama mengenal Edsel, mungkin Mbok Inem yang paling lama. Bahkan setelah kami bertiga sama-sama minggat—hm, oke, ngekos mungkin kata yang lebih halus—Mbok Inem masih suka datang ke kosan untuk bawa bahan makanan dan bahkan sampai masak. Enaknya gue dan Adara juga jadi ikut kecipratan hidangan menggoda, apalagi gulai buatannya si Mbok. Bahkan sekarang pun, di saat Edsel sudah kerja dan tinggal di apartemen sendiri, Mbok Inem masih suka datang dengan Tante Savi—ibunya Edsel—entah untuk sekadar berkunjung atau masak buat kami bertiga.

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang