1. Dari Mereka

4.7K 518 140
                                    

Saka

Orang bilang nama gue kelewat ajaib.

Yah, mungkin ajaib merupakan versi halus dari "aneh". Bukannya gue tersinggung sih, gue juga sadar nama gue ini unik. Satmaka. Nenek bilang artinya hidup. It seems cool yet confusing, tapi gue mencoba menerima nama itu dan berpikir bahwa nama itu merupakan doa dari orang tua gue untuk anaknya supaya panjang umur.

Meskipun gue agak ragu kalau orang tua gue berdoa.

Dari gue lahir sampai gue beranjak ke kelas tiga SD, tidak ada masalah. Sampai akhirnya ada satu anak cowok yang waktu pelajaran IPA, salah membaca tulisan di buku yang seharusnya "satwa liar" jadi "satma liar".

Dan tak lama, satu anak cewek menyeletuk, "Lho, kok satma? Itu kan namanya Satmaka."

Sebuah ketidaksengajaan membuat masa SD gue jadi populer. Iya, populer jadi ejekan. Satma liar.

Gue masih ingat siapa penyebabnya. Yah, gimana nggak ingat coba kalau yang salah bacanya ternyata tetangga gue, dan sekarang bahkan kerja satu kantor sama gue? Masih dendam sih, tapi kalau gue mau marah sekarang pun, nggak guna. Lagi pula, dia juga yang akhirnya membuat nama gue sedikit lebih bagus.

"Satma kesannya kayak cewek. Maka kalau ditambah 'en' jadi makan. Jadi Saka aja. Lebih gampang diingat juga, kan?"

Dari semua orang yang mengenal gue, hanya dia doang yang memanggil gue dengan Saka. Gue nggak pernah kepikiran bakal dipanggil begitu, tapi kedengaran keren. Gue berasa jadi cowok keren yang berasal dari kartun Avatar. Tapi biarkan gue melupakan fakta kalau Saka yang di situ begonya setengah mampus. Gue nggak bego. Hanya, yah, kadang otak kepeleset aja.

Dan semenjak SMA, gue memutuskan untuk memperkenalkan diri sebagai "Saka" pada semua orang. Karena di bangku SMA, panggilan terhormat seperti "kakak" atau "abang" merupakan hal yang lumrah, jadi nama depan kebanggaan yang harus diucapkan kalau tidak mau diterkam senior. Kan, lebih mending dipanggil "Bang Sak" daripada "Bang Sat". Gue nggak mau nama gue diejek lagi hanya karena ketidaksengajaan.

Di bangku SMA, semuanya aman. Tapi di bangku kuliah, tepatnya di saat gue seharusnya jadi orang paling galak di mata mahasiswa baru, satu anak cewek dengan rambut yang dikuncir kuda dengan nametag dari kardus bertulisan "lengkuas" memanggil gue dengan, "Bang Sat, itu tadi dicariin kakak P3K."

Suaranya gede banget, dan semua orang langsung melihat gue. Mahasiswa baru masih menahan tawa, sementara panitia yang lain sudah tertawa.

"Wah, dedek kita yang satu ini berani banget."

Kedengaran seperti kalimat yang mengancam, tapi gue tahu para panitia betul-betul menikmati tawanya.

Gue nggak tahu cewek itu polos atau gimana, tapi dia membalas tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Eh, aku salah? Betul kan namanya Bang Satmaka?"

Dan dua tahun sebelum gue wisuda, gue kembali punya ejekan baru selain Satma Liar. Bang Sat. Tolong kalau mau manggil gue begitu bisa spelling aja "Bang spasi Sat" biar lebih enak didengar. Gue berasa dikata-katain.

Gue nggak tahu apakah ini sebuah kesialan atau apa, tapi dua orang yang membuat gue punya panggilan-panggilan ajaib itu sekarang jadi bareng gue terus. Kami bertetangga, kuliah di jurusan yang sama, dan sekarang kerja di kantor konsultan yang sama. Untung saja mereka bukan event planner juga. Kalau nggak, gue nggak tahu takdir macam apa yang menjebak gue dan dua orang ini, Edsel dan Adara.

Kayak sekarang ini, lagi-lagi kami bertiga, duduk di satu meja paling pojok di McD dengan dua ayam goreng, tiga french fries large, dan satu paket happy meal.

Sumpah, bukan gue yang pesan happy meal.

"Mau nambah saus, Bang? Mau juga dong ambilin saus tomat." Suara Adara terdengar ketika gue berdiri.

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang