2. Mengomentari Cinta

2.5K 430 57
                                    

Adara

Kalau disuruh menjabarkan Mas Edsel dan Bang Saka, mereka berdua akan berada di dalam tabel yang berbeda. Mas Edsel dengan senyum kalem dan lesung pipi samarnya, Bang Saka dengan cengiran lebar yang menular ke sekitar. Mas Edsel pintar dalam percakapan tawar-menawar, sementara Bang Saka selalu membuat suasana jadi lebih heboh.

Kalau harus terus membahas mereka berdua, bisa-bisa pembahasannya lebih panjang daripada TOR* dari seminar terlama yang pernah aku urus. Tapi intinya, mereka berbeda. Satu hal yang sama dari mereka mungkin hanya keduanya yang sama-sama sering dijadikan topik pembicaraan karyawati kantor.

(*TOR: Term of Reference)

Aku bukannya menganggap diri masih muda sih, umurku sudah mau dua setengah dekade, tapi obrolan para karyawati kantor soal Mas Edsel dan Bang Saka tidak akan pernah jauh dari suami idaman. Bahkan karyawati yang sudah menikah pun ikut nimbrung dan sesekali membandingkan mereka berdua dengan pasangan masing-masing.

Untuk para suami dari ibu-ibu yang aku maksud, harap bersabar. Ini cobaan.

Karena, yah, memang harus aku akui, mereka berdua memang ganteng. Dulu waktu kakakku datang ke rumah saat aku masih semester dua, Kakak kaget bukan main sewaktu aku, Bang Saka, dan Mas Edsel justru rebutan selimut selagi menonton film horror di sofa.

“Adara, sejak kapan teman kamu pada artis semua? Kok bisa ke sini? Kenal dari mana?”

Padahal mereka hanya tetangga sebelah.

“Enak ya kamu, Ra. Bisa dekat sama yang ganteng, sepasang lagi. Beruntung banget.”

I heard that thousand times, Kak. Kayaknya kebanyakan kalimat pujian yang aku dapat itu karena aku bisa dekat dengan dua orang itu.

Karena dekat dengan Mas Edsel dan Bang Saka, bukan sekali dua kali aku disodorkan deretan pertanyaan soal mereka atau didekati orang dengan kedok ingin minta didekatkan dengan mereka. Agak merepotkan sih, dan aku memilih untuk tidak melakukannya. Bukannya apa, toh pada akhirnya juga mereka menolak.

“Kalau mau minta kontak aku, bilang aja minta sendiri.” Begitu kata Mas Edsel. Sementara Bang Saka sih, duh, tahu sendiri.

“Nggak papa, kasih aja. Wajar kan yang ganteng begini dihubungin cewek bejibun? Mau ngontak aku nggak papa. Tapi jangan marah kalau nggak aku tanggapin.”

Ugh. Percaya diri tingkat dewanya itu bisa lebih tebal dari aspal jalan. His over-confident is amusing. I know.

Dan sekarang, entah untuk ke berapa kalinya sejak 7 tahun mengenal Mas Edsel dan Bang Saka, pertanyaan yang sama kembali terlempar padaku di sesi lunch dengan beberapa peneliti di meja kantin. Ada Bu Mayang, Kak Septa, Meri, Bang Saga, dan Pak Gilang, ketua tim peneliti 2.

“Kamu pacaran sama yang jadi media planner itu, ya?”

“Lho, saya kira malah sama event coordinator yang tadi diusulkan Pak Gilang.”

Aku tertawa menanggapi pertanyaan dari Kak Septa dan Bu Mayang kemudian menggeleng sopan. “Bukan, bukan.”

“Tapi memang dekat sih,” kali ini Meri menambahkan.

Di kursinya, Bang Saga sudah cekikikan sambil menyeruput jus mangganya. “Nggak mau cerita karena hubungan sekantor off-limit nih?”

Aku hanya bisa menanggapi dengan tawa kikuk sambil menggelengkan kepala. Bukan pertanyaan yang asing, tapi ditanyai hal yang begini dengan orang-orang yang konteksnya baru kukenal karena proyek kantor membuatku sedikit kurang nyaman. Apalagi dengan kata-kata Bang Saga barusan.

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang