27. Kepastian Yang Pasti

1.3K 219 83
                                    

Udah lumayan lama yaaaaa? Masih ada yang kepo kabarnya trio curut ini nggak?

Tadinya aku mau nunggu komen ratusan sekalian ngetik, tapi apadaya wkwk. Selamat menikmati pokoknya mah. Jangan lupa hati sama pikiran tetap kuat~

*

Edsel

Gue nggak ingat persis kapan terakhir kali gue ke rumah orang tua gue, tapi gue yakin itu sudah cukup lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue nggak ingat persis kapan terakhir kali gue ke rumah orang tua gue, tapi gue yakin itu sudah cukup lama. Gue menyadari itu dengan keadaan rumah yang sedikit berubah ketimbang sebelumnya. Cat rumah yang sebelumnya berwarna california red kini diganti menjadi warna krem, memberi kesan teduh juga tenang. Dan entah sejak kapan, tapi tanaman-tanaman Bapak jadi bertambah banyak, seakan jadi pagar yang mengelilingi sisi kanan dan kiri rumah.

Begitu gue sampai, hal pertama yang gue dapatkan adalah pelukan dari Ibu, bahkan sebelum gue sempat salaman. Rambut Bapak juga sekarang sudah jadi putih semua. Bapak bahkan sempat mengganggu gue dan bilang, "Katanya ubanan itu menurun lho, Sel. Siapin cat rambut nanti."

"Yang butuh cat rambut tuh Bapak, iki Edsel wong masih ganteng gini."

"Ganteng juga kan nurun, Bu, anak siapa dulu dong."

Gue nggak bisa berhenti tersenyum karena guyonan dan perdebatan kecil—yang sebenarnya bukan debat sih—antara Ibu dan Bapak. Ini suasana rumah yang gue rindukan. Berada di sini membuat gue merasa nggak sendiri, tapi di saat yang sama menambah kekangenan gue.

Sekarang cukup pikirin Ibu sama Bapak dulu aja.

Ibu lebih dulu menyuruh gue mandi, dan begitu selesai, Ibu langsung memanggil gue untuk ke ruang makan. Padahal hanya gue sendiri yang datang, tapi ada berpiring-piring masakan Ibu yang tersedia di meja makan.

"Ibu masak kayak mau kasih makan satu kampung, kan?" tanya Bapak. Kedengaran berlebihan sih, tapi gue mengangguk. Yang Bapak katakan memang ada benarnya. Ini terlalu banyak untuk dikonsumsi gue sendiri, atauh bahkan bertiga dengan Ibu dan Bapak.

"Nggak papa, makan aja," balas Ibu santai. "Kamu langsung pulang juga, kan? Sekalian nanti bawa aja, biar dimakan Adara sama Saka juga."

Cara Ibu menyebutkan dua nama itu dengan begitu santai membuat gue tertegun. Gue diam, tidak menjawab untuk beberapa saat.

Nama itu yang biasanya jadi pembicaraan gue dan Ibu. Bukan untuk bergosip, tapi untuk menceritakan seberapa pentingnya dua orang itu untuk gue, dan apa saja kelakuan ajaib mereka. Tapi untuk menyebut mereka sekarang, untuk membawa dua nama itu ke dalam obrolan, gue merasa nggak bisa lagi. Gue ingin tenang, setidaknya untuk saat ini, di sini, di rumah Bapak dan Ibu.

"Ya sudah, yuk. Makan dulu," kata Ibu, mengalihkan topik pembicaraan sebelumnya. Gue merasa Ibu memandangi gue, tapi Ibu tetap tersenyum. "Habis makan nanti kita ke kebun di belakang, ya, Nak."

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang